Sulinggih

Sulinggih adalah orang suci yang mempunyai wewenang untuk muput upacara yadnya dan telah disucikan melalui proses sakral yang disebut Dwijati, Madiksa, mewinten dll serta penggunaan atas tongkat sulinggih yang kerap dibawa.
Dan dalam sistem pemerintahan Bali kuno, adapun Griya disebutkan sebagai tempat tinggal bagi para Pendeta / sulinggih.
Siwa (Tuhan) selalu dihadirkan saat seorang sulinggih memuja dan berhadapan dengan Siwopakarana sebagai saksi suci dari kesuksesan pelaksanaan sebuah upacara.

Dikisahkan, awalnya ada keraguan, namun nasib menentukan lain, dalam cerita "Mendadak Jadi Sulinggih", yang pada akhirnya menjadi tercerahkan.

Dalam Lontar Siwa Sasana, sulinggih Hindu disebut juga sebagai :
  • wrddha pandita, 
  • sriguru pata, 
  • dang upadhyaya pita maha, 
  • prapita maha, dan 
  • bhagawanta yang masing-masing berarti
    • pandita guru yang agung, 
    • guru yang mulia 
Sedangkan yang senang membaca, 

    Para Nabe, Maha Rsi, Mpu, Danghyang, Dang Hyang; Silsilah Bhagawanta, Pendeta ("Purohito"; pagerwesi), Pedanda, wiku, sinuhun yang telah memiliki pengetahuan dharma dll
    Serta untuk prosesi mewinten bagi para mangku (pamangku; pemangku), disebutkan dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku pura, misalnya di;
    Dan sebagaimana disebutkan pinandita yang sudah mewinten atau Samkara Eka Jati menggunakan udeng yang sering disebut dengan ''mebongkos nangka'' dalam persepsi masyarakat spiritual Bali.

    Dan dijelaskan pula bahwa,
    • Dalam sesana pinandita disebutkan, "kehidupan ini sesungguhnya untuk melayani agar dapat menuju kepada Sang Asal / Sang Pencipta"
    • Dasa Krama Paramartha, sebagai salah satu pedoman, tuntunan atau kewajiban bagi seorang sulinggih .... 
    • Seorang sulinggih, kalau belum melalui upacara seda raga, belum boleh muput (atau memimpin) sebuah upacara Pitra Yadnya.

    Sulinggih adalah kedudukan utama sebagai pemimpin agama Hindu, demikian dijelaskan dalam sumber Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara di Facebook (ref), dan untuk mencapai kedudukan ini diperlukan pendidikan dengan proses pembelajaran khusus dalam tradisi aguron-guron yang dipimpin oleh seorang Nabe.

    Proses aguron-guron ini dijelaskan, antara lain dalam Manawa Dharmasastra II seloka 169 dan 170 yang melahirka sulinggih - sulinggih,
    Inilah sulinggih Adi Guru Loka, guru utama dalam masyarakat.
    Pemimpin agama Hindu yang mampu mengapresiasi empat unsur pokok agama Hindu, yaitu :
    • tattwa, dasar keyakinan beragama.
    • tata susila, untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu.
    • acara agama, wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya.
    • parisada, mengembangkan hubungan harmonis dengan sesama umat.
    Tattwa mengajarkan tentang esensi, eksistensi, dan aktivitas Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa yang lazimnya disebut brahmawidya atau teologi, ilmu tentang Tuhan.
    Susila memberikan pedoman tingkah laku, berupa kewajiban moral untuk mengembangkan sikap arif kepada alam dan berbuat adil kepada sesama makhluk demi kesejahteraan dan kemuliaan semua. 
    Acara berisi upacara dan upakara yadnya, yaitu petunjuk pelaksanaan ritual, tata cara melangsungkan, membangun, dan menata hubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian, 
    Parisada sebagai organisasi para sulinggih, majelis umat Hindu yang membangun dan menata hubungan umat Hindu dengan pemimpinnya dalam rangka mewujudkan sradha-bhakti (keimanan) bersama serta mengembangkan hubungan harmonis dengan sesama umat Hindu dan umat agama lain.

    Walaupun mengetahui dan mengapresiasi keempat unsur pokok agama Hindu ini, tetapi pada kenyatannya dalam keberagamaan umat Hindu sehari-hari, sulinggih lebih dikenal sebagai pemimpin upacara.

    Upacara nyurya sewana misalnya, sulinggih melakukannya pada setiap pagi menjelang matahari terbit. Pemujaan Bhatara Siwa dalam manifesitasi Dewi Sawitri dengan Sawitri Mantram sepenuhnya ditujukan untuk :
    • Menjaga kebenaran alam semesta dan merawat kebaikan manusia
    • Kebenaran, berupa prinsip-prinsip hukum alam (palemahan) dan kebaikan, berupa prinsip-prinsip moral (pawongan) memang menjadi landasan untuk mewujudkan :
    • Keindahan dunia
    • Kehidupan umat (parhayangan).
    Begitulah sulinggih memenuhi kewajiban moral-religiusitasnya demi keselamatan semesta, menjaga ketenteraman alam dan melindungi kedamaian makhluk.
    Kemuliaan sulinggih ini merupakan bentuk apresiasi konsep padma bhuana dalam spirit doa, “Om ano bharadah katsavo yantu visvatah”, semoga pikiran benar datang dari segala penjuru.
    Dalam doa ini sekurang-kurangnya mengandung harapan, agar dari arah timur mengalir pengetahuan benar, dari arah selatan memancar perbuatan baik, dari arah barat mengalir hasil perbuatan, dan dari arah utara memancar kekuasaan.

    Dari kekuasaan ini muncul
    • kemampuan mengendalikan pikiran, 
    • kemampuan mengontrol perbuatan, dan 
    • kemampuan mengawasi gerak-gerak pikiran, 
    • keselarasan antara pikiran dan perbuatan. 
    Inilah kesederhanaan. Kesederhaan sulinggih, ngrastitiang karahyuan jagat, mewujudkan bhuana santih.

    Kesederhanaan ini mulai dipertanyakan, bahkan digugat zaman, apalagi zaman kemajuan. Padahal Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan begitu pula dalam masyarakat Bali, karena itu orang Bali mengalami kesulitan membedakan agama dengan tradisinya.
    Malahan banyak antropolog mengatakan bahwa ritus agama Hindu di Bali adalah warisan dari tradisi agraris yang dipermulia dengan tradisi sastra.
    Tradisi agraris cenderung menunjukkan karakteristik kolektivistik, sedangkan tradisi sastra memperlihatkan karakteristik estetik dan religius.

    Interaksi kedua tradisi ini melahirkan kebudayaan Bali tradisional dengan ciri-ciri :
    • solidaritas, 
    • estetik, dan 
    • religius. 
    Interaksi kebudayaan Bali tradisional dengan kebudayaan modern memperlihatkan karakteristik perluasan melalui proses :
    • integrasi
    • adaptif, dan 
    • dialektik. 
    Akan tetapi, perluasan, seperti pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan perluasan kebudayaan ini cenderung memanjakan masyarakat.
    • Perluasan semacam ini, bahkan telah menyebabkan agama Hindu kehilangan pesona. Agama Hindu tidak lagi menjadi inti dari sistem nilai tradisi Bali yang dipraktikkan menjadi sistem norma dan sistem tindakan sosial. 
      • Artinya, agama Hindu tidak lagi menjadi panduan kebenaran, pedoman kebaikan, dan acuan bagi tindakan sosial. Akibatnya, agama Hindu berada pada posisi ambigu.
    • Pada satu sisi modernitas telah membakukan agama Hindu melalui sistematisasi, objektivikasi, dan rasionalisasi. Sebaliknya, pada sisi lain pembakuan agama Hindu telah melemahkan, bahkan menghilangkan nilai-nilai moral dan spiritual.

    Ini menegaskan bahwa dalam dunia modern agama Hindu diposisikan sama dan sejajar dengan bidang-bidang kehidupan sekuler lainnya sehingga agama Hindu mengalami redefinisi terus-menerus sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, bahkan selera manusia.

    Tidak jauh berbeda dengan modernisasi, bahkan melalui kemajuan
    • teknologi informasi, 
    • komunikasi, dan 
    • transportasi globaliasasi 
    telah menyatukan dunia-kehidupan menjadi mono kultur.

    Teknologi informasi misalnya, telah melipat dan menyatukan dunia-kehidupan menjadi selebar layar televisi. Malahan telepon seluler mengubah cara berkomunikasi misalnya, lewat SMS (short message service) atau pesan singkat misalnya.

    Ini sebabnya tidak sedikit umat Hindu menanyakan perihal keagamaan kepada sulinggih, seperti dewasa ayu untuk melaksanakan upacara tertentu dilakukan lewat
    • telepon, bahkan 
    • dengan SMS.
    Rupanya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian rupa merasuki hati sanubari umat Hindu sehingga apa yang ditabukan pada masa lalu, tetapi pada masa kini menjadi lumrah. Pergeseran susila seperti ini pada satu sisi memang dapat memperlancar urusan, tetapi pada sisi lain malahan lebih banyak menghambat perkembangan moral.
    Padahal peran dan fungsi sulinggih, antara lain sebagai penjernih pikiran, pencerah perasaan, dan penyejuk hati yang berarti tidak membiarkan hambatan bagi perkembangan moral. Apalagi manusia merasa telah mengalami perluasan inderawi dan karena itu batas-batas ruang parsial dan waktu temporal semakin kabur. Sepertinya tidak ada jarak lagi antara rumah dan geriya.
    Begitu juga internet memberi kemudahan untuk mengakses pengetahuan agama, karena itu orang dengan mudah meracik agama setiap saat sesuai dengan keinginannya. Malahan juga melalui internet tidak sedikit umat Hindu menerima sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual ala India dalam keberagamaannya.

    Dalam kegiatan sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual ini sama sekali tidak menyisakan ruang bagi sulinggih, karena itu peran dan fungsi sulinggih yang setia dan konsisten mempertahankan agama Hindu ala Bali semakin terpinggirkan.

    Artinya,
    • kemajuan teknologi informasi, dan 
    • komunikasi telah menyediakan ruang untuk menyebarluaskan ajaran Hindu.
    Ini sebabnya bagi sulinggih internet begitu membantu untuk merevisi dan merekonstruksi pengetahuan keagamaannya, agar selalu selaras dengan perkembangan zaman.

    Begitu juga i-pad digunakan sulinggih untuk memperlancar rangkaian upacara yang sedang dipimpinnya. Selain itu, juga i-pad begitu fungsional ketika sulinggih menyampaikan dharma wacana, baik berhadapan langsung dengan umat Hindu maupun lewat media elektronik, seperti radio dan televisi. Malahan tidak sedikit ditemukan sulinggih yang berpartisipasi aktif di dunia-maya, seperti
    • facebook, 
    • twiter, dan 
    • blog.
    • dll
    Hal ini sejalan dengan perkembangan kebutuhan keagamaan umat pada zaman kemajuan. Apalagi perkembangan kebutuhan keagamaan berlangsung begitu cepat dalam waktu singkat seiring dengan perubahan sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan.

    Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perubahan dan perkembangan zaman senantiasa tampil dalam bentuk tuntutan penyesuaian diri dalam lingkungan sosial dan budaya yang tidak statis. Terhadap perubahan lazimnya ditemukan tiga kelompok respons, yaitu progresif, konservatif, dan moderat.
    • Kelompok progresif; dengan suka cita akan mengikuti perubahan, bahkan sering menjadi penggagas perubahan itu sendiri karena memang merasa tidak nyaman pada keadaan sekarang. 
    • Kelompok konservatif; merasa enggan berubah karena merasa sudah nyaman dalam keadaan sekarang. 
    • Kelompok moderat; tidak memiliki prinsip, baik berubah maupun tidak bukan masalah. Sederhananya, apabila pengetahuan agama berubah, maka sarana agama dan tindakan agama akan berubah yang segera diikuti oleh perubahan hasil yang akan dicapai.
    Perubahan dan kemajuan dalam hal
    akan memberikan begitu banyak kemudahan dalam keberagamaan. Misalnya, pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi transportasi telah memunculkan pemandangan baru tentang sulinggih menyetir kendaraan sendiri, bukan seperti lazimnya dipendak (dijemput).

    Mudah-mudahan perubahan ini tidak serta-merta mengurangi kesucian sulinggih dan dapat diterima sebagai kewajaran sesuai dengan tuntutan zaman.


    ***