Pura [ENG: Balinese Temples] adalah tempat suci bagi umat Hindu yang disebutkan dibagi menjadi beberapa halaman pura sebagai replikasi
dari lapisan Tri Loka alam semesta sebagai
simbolik dari loka dan tala tersebut.
- Halaman jeroan pura sebagai simbol 7 alam atas Sapta Loka.
- Halaman jaba pura sebagai simbol 7 alam bawah Sapta Petala.
Dan hampir semua pura besar di Bali memiliki arsitektur pura dengan bangunan meru yang ciri atapnya bertingkat-tingkat yang menyerupai
gunung.
Dalam makna estetika seninya dikatakan;
Dalam makna estetika seninya dikatakan;
Dengan pergi ke Pura disebutkan akan terasa lebih dekat dengan Tuhan, akibatnya hati merasa terhibur, bergaul dan berkumpul dengan sahabat dan kawan.
Karena Pura merupakan tempat sembahyang atau pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya demikian dijelaskan dalam kutipan tuntunan sembahyang yang disebutkan pula bahwa, menurut fungsinya Pura dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu :
- Pura Kahyangan Umum (Kahyangan Jagat) dan
- Pura Kahyangan Khusus (Sanggah, Pamerajan, Paibon, Kawitan dan lain-lain).
Dan para umat hendaknya juga selalu menjaga kesucian pura serta juga memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang larangan masuk Pura/tempat suci seperti misalnya :
Disebutkan pula bahwa untuk prosesi mewinten bagi para pemangku sebagai sulinggih yang memimpin upacara yadnya di pura dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku pura.
Sehingga untuk menguatkan kesakralan suatu pura sebagaimana dijelaskan dilakukan karya mamungkah sebagai bagian / dudonan upacara ngenteg linggih yang patut dilaksanakan setiap 10 tahun sekali atau oleh karena terjadi rehab total suatu bangunan pelinggih pura yang disesuaikan dengan desa kala patra agar vibrasi kesucian suatu pura sebagai tempat suci tetap terjaga.
Sebagai tambahan :
- Bagi wanita dalam keadaan menstruasi, habis melahirkan atau aborsi (sebagai perbuatan brunaha yang dapat membawa pataka).
- Dalam keadaan berhalangan karena cuntaka.
- Menodai kesucian Pura/tempat suci (berpakaian tidak sopan atau tanpa senteng, bercumbu, berkelahi, buang hajat besar/kecil dan mencoreng – coreng bangunan/tempat suci).
Disebutkan pula bahwa untuk prosesi mewinten bagi para pemangku sebagai sulinggih yang memimpin upacara yadnya di pura dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku pura.
Sehingga untuk menguatkan kesakralan suatu pura sebagaimana dijelaskan dilakukan karya mamungkah sebagai bagian / dudonan upacara ngenteg linggih yang patut dilaksanakan setiap 10 tahun sekali atau oleh karena terjadi rehab total suatu bangunan pelinggih pura yang disesuaikan dengan desa kala patra agar vibrasi kesucian suatu pura sebagai tempat suci tetap terjaga.
Sebagai tambahan :
- Dalam Lontar Krama Pura disebutkan bahwa setelah Pura itu di plaspas, maka Pura tersebut statusnya telah suci dan dapat difungsikan sebagai tempat persembahyangan.
- Dan siapapun kita, dalam salah satu etika pemedek disebutkan bahwa kita sebagai pemedek sudah sepatutnya kita harus menghargai, menghormati pemangku sebagai pengayah di suatu pura.
***