Dalam beberapa piodalan di pura - pura yang berpatokan pada wuku akan melaksanakan yadnya setiap 210 hari sekali.
Begitu pula pada perayaan hari raya seperti galungan yang dirayakan setiap buda / hari rabu wuku dungulan, saraswati yang dirayakan setiap saniscara / hari sabtu wuku watugunung ... dll sehingga hari raya - hari raya tersebut dirayakan setiap enam bulan bali atau setiap 210 hari.
Dalam Rumus Perhitungan Wariga dan Dewasa Ayu dalam Kalender Bali, juga disebutkan setiap wuku memiliki urip dan bilangan sehingga memudahkan untuk menentukan pedewasan atau ala ayuning dewasa dalam pelaksanaan panca yadnya yang akan dilakukan.
Angka urip wewaran dan bilangan masing - masing wuku yaitu sebagai berikut :
WUKU | URIP | BILANGAN |
Sinta | 7 | 1 |
Landep | 1 | 2 |
Ukir | 4 | 3 |
Kulantir | 6 | 4 |
Tolu | 5 | 5 |
Gumbreg | 8 | 6 |
Wariga | 9 | 7 |
Warigadean | 3 | 8 |
Julungwangi | 7 | 9 |
Sungsang | 1 | 10 |
Dunggulan | 4 | 11 |
Kuningan | 6 | 12 |
Langkir | 5 | 13 |
Medangsia | 8 | 14 |
Pujut | 9 | 15 |
Pahang | 3 | 16 |
Krulut | 7 | 17 |
Merakih | 1 | 18 |
Tambir | 4 | 19 |
Medangkungan | 6 | 20 |
Matal | 5 | 21 |
Uye | 8 | 22 |
Menail | 9 | 23 |
Perangbakat | 3 | 24 |
Bala | 7 | 25 |
Ugu | 1 | 26 |
Wayang | 4 | 27 |
Klawu | 6 | 28 |
Dukut | 5 | 29 |
Watugunung | 8 | 30 |
Dalam babad bali, pawukon juga disebutkan sebagai pengetahuan yang sangat penting untuk di ketahui sehingga akan sangat membantu, karena sebagian besar hari-hari raya di Bali ditetapkan berdasarkan siklus pawukon dan siklus pawukon ini akan sangat membantu.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hindu dharma, mitologi pawukon berdasarkan lontar Medangkamulan diceritakan kelahiran wuku seperti dibawah ini. Tersebutlah ada raja yang banyaknya 27 orang yaitu :
- Raja Giriswara memerintah di Gunung Emalaya,
- Raja Kuladewa di Pasutranu.
- Raja Talu memerintah di Winekatalu.
- Raja Mrebuana di Marga Wisaya.
- Raja Waksaya di Bragu.
- Raja Wariwisaya di Waragadiaswara.
- Raja Mrikjulung memerintah di Sekar Kencana,
- Raja Sungsangtaya di Sagraya.
- Raja Dungulan bertahta di Tanpasabda.
- Raja Puspita di Jena.
- Raja Langkir di Langkaraya.
- Raja Medangsu di Medangpat.
- Raja Pujitwa di Pujiwisaya.
- Raja Paha di Pangkurian.
- Raja Kruru di Ruruksa.
- Raja Mrangsinga memerintah di Mrasuminggah.
- Raja Tambur memerintah di Kawi.
- Raja Medangkusa memerintah di Kusinagara.
- Raja Matal memerintah di Matala.
- Raja Uye di Padengenan.
- Raja Ijala di Wirajala.
- Raja Yuda di Prangwija.
- Raja Baliraja memerintah di Ladikara.
- Raja Wiugah di Gandawiran.
- Raja Ringgita di Apsari.
- Raja Kulawudra bertahta di Kalasumihang.
- Raja Sasawi di Tresawit.
Diceritakan lagi bernama Dang Hyang Kulagiri, mempunyai istri dua orang,
- Istri yang pertama namanya Dewi Sintakasih, putra dari Bhagawan Gadiswara,
- Istri yang kedua namanya Dewi Sanjiwartia, putra Dang Hyang Pasupati.
Setelah lama bersuami istri, lalu Dang Hyang Kulagiri berkata kepada istri keduanya, menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru bertapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi. Istri beliau berdua menyetujui.
Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah cukup lama sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintaksih bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum datang.
Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa).
Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari kraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai tanda akan melahirkan.
Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Desi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki. Pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Desi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki. Pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia.
Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih. Sang Dewi menghormat sambil berkata: “Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru mulai hamil hingga sekarang.
Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga beliau datan (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati”.
Demikianlah kata kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni atau Dewa Brahma. Kemudian Dewa Brahma, setelah mendengar cerita kedua putri tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. “Karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung”.
***