Sembahyang

Sembahyang adalah salah satu hakekat inti dari ajaran Hindu Dharma
Dan setiap orang yang mengaku beragama, ia pasti melakukan sembahyang karena sembahyang menurut ajaran agama bersifat wajib atau harus.
Seperti halnya dengan persembahan yang dilakukan dengan wujud dari rasa bhakti yang setulus-tulusnya dalam suasana yang penuh keheningan;
Agar mendapatkan ketentraman jiwa yang merupakan salah satu tujuan dan manfaat dari sembahyang itu sendiri yaitu dengan sarana tertentu seperti dengan sarana bunga yang dilestarikan dalam kehidupan ini.
Sembahyang intinya disebutkan adalah iman atau percaya sehingga semua tingkah laku atau perbuatan, pikiran dan ucapan juga sebagai perwujudan dalam bentuk “bhakti” yang hakekatnya bersumber pada unsur iman (sraddha) sebagai salah satu dari dasar keyakinan umat Hindu Dhama.

Dalam umat Hindu Dharma, sejatinya asal kata sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu sembah & hyang;
  • Sembah yang berarti 
    • Sujud atau sungkem, yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran.
  • Hyang yaitu 
    • Yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu : Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.
Didalam bahasa sehari-hari, orang bali sering juga menyebut kata sembahyang dengan sebutan:
  • Muspa, karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan jalan persembahan kembang (puspa).
  • Mebakti, dinamakan demikian karena inti persembahan itu yaitu untuk memperlihatkan rasa bakti (bhakti) atau hormat setulus-tulusnya dengan cara mencakupkan kedua belah tangan atau cara lain yang dapat diartikan sama sebagai penyerahan diri setulus hati kepada yang dihormati atau Tuhan Yang Maha Esa.
  • Maturan, yang artinya menyampaikan persembahan dengan mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai menurut kemampuan dengan perasaan tulus ikhlas, seperti buah, kue, minuman dll.
Didalam bhagawadgita, yoga atau Samadhi dinyatakan sebagai salah satu bentuk persembahyangan yang dapat pula dilakukan oleh orang yang menganut ajaran sanatha dharma (hindu) dengan melakukan “tri sandhya”.
Namun Sembahyang atau persembahan yadnya mempunyai fungsi dan kedudukan sangat penting dalam kehidupan beragama. Ini ditegaskan oleh kitab weda smerti sebagai berikut;
“wedoditam swakam karma nityam kuryadatandritah, Taddhi kurwanyathasakti prapnoti paranam gatim” (Manawa Dharmasastra IV, 14)
Hendaknya tanpa kenal lelah melakukan yadnya yang ditentukan untuknya dalam weda, karena ia yang melaksanakan semua itu menurut kemampuan mencapai kedudukan kejiwaan paling tinggi.
Dengan menggariskan ketentuan yang ditegaskan adanya penyesuaian kemampuan menurut kemampuan atau relative tidaklah mutlak untuk melakukan yadnya melebihi kemampuan karena dengan melebihi kemampuan berarti bertentangan pula dengan weda. Demikian dijelaskan pengertian tentang "sembahyang" dalam Forum Diskusi Hindu Nusantara (Facebook), ref)

Sebelum melakukan sembahyang, setelah duduk dan situasi tenang, maka Mantram Penyucian Badan dan Sarana Sembahyang disebutkan sebagai awal dari persembahyangan.

Dalam tuntunan sembahyang melalui sebuah keyakinan yang bersumber pada sraddha kita yang disebutkan sebagai berikut :
  • Makna dan Tujuan dari persembahyangan :
    • Untuk menghormati dan mengagungkan kebesaran sifat Tuhan Yang Maha Esa, selaku pencipta dan penguasa alam semesta.
    • Sebagai pengakuan diri bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang sangat lemah.
    • Sebagai permohonan maaf dan pengampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan dalam hidupnya.
    • Menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas segala waranugraha-Nya.
    • Memohon perlindungan-Nya agar dijauhkan dari segala bahaya maupun cobaan hidup.
    • Menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.   
  • Pura sebagai tempat sembahyang atau pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya. 
  • Macam-macam Persembahyangan :
    • Menurut waktu pelaksanaan.
      • Nitya Kala, yaitu sembahyang yang dilaksanakan 3 (tiga) kali sehari.
      • Naimitika Kala, yaitu persembahyangan yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu.
    • Menurut bentuk pelaksanaannya.
    • Persembahyangan bersama dengan dipandu puja Sulinggih.
    • Persembahyangan bersama tanpa dipandu puja Sulinggih.
    • Persembahyangan perorangan.  
  • Persyaratan Sembahyang
    • Persyaratan lahir (sakala, wahya) :
      • Bersihkan badan dengan mandi. Boleh juga mandi dengan air kumkuman.
      • Berpakaian yang bersih dah sopan.
      • Sarana persembahyangan yang dipakai supaya baik, misalnya : Bunga yang harum dan segar, dupa yang harum serta kwangen.
      • Tempat persembahyangan yang bersih dan bersuasana tenang. 
    •  Persyaratan bathin (niskala, adyatmika) :
  • Rasa tulus ihklas dalam melaksanakan sembahyang.
  • Kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan.
  • Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah (Dahsyam) dan utuh.
  • Kesadaran melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta.
  • Meyakini ajaran Tat Twam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama.
    • Asana dalam sikap Sembahyang
      • Sikap tangan.
      • Sikap tangan pada waktu Tri Sandhya. Mengambil sikap Devapratistha atau Amusti Karana yaitu kedua ibu jari tangan dipadukan dengan telunjuk tangan kanan (berbentuk “kojong”) atau kedua ibu jari tangan kanan dan kiri dipertemukan/ditempelkan sedangkan jari-jari tangan yang lain saliang bertumpukan diatas ulu hati.
      • Sikap tangan pada waktu melaksanakan kramaning sembah. Sikap tangan pada waktu melaksanakan persembahyangan/kramaning sembah yaitu kedua belah telapak tangan dicakupkan dan diangkat keatas ubun-ubun.
      • Sikap badan pada waktu sedang sembahyang.
      Bila memuja dalam sebuah Pura, Sanggah Pamrajan dan sebagainya dilakukan dengan cara duduk. Bagi kaum pria dengan sikap Padmasana (Silasana) sedangkan sedangkan bagi kaum wanita dengan sikap Bajrasana (bersimpuh). Ada lagi sikap-sikap yang lain misalnya bagi yang sakit mengambil sikap Sawasana. Selanjutnya apabila kondisitempat tidak memungkinkan untuk duduk maka dapat dilaksanakan dengan mengambil sikap Padasana (berdiri). 
Sebagai salah satu kelengkapan sembahyang, penggunaan udeng disebutkan memiliki simbol ketuhanan dalam simpul yang "nunggal".

Demikianlah pengertian dan makna sembahyang kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya agar menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.

Dalam melakukan persembahyangan, beberapa hal yang patut  dilakukan,
***