Sanggah

Sanggah sebagaimana disebutkan pengertiannya,
Sanggah sebagai perubahan ucapan dari kata “sanggar”, yang menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar siwagama disebutkan nista sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Lontal Siwagama, lembar 328), demikian dikutip dari artikel Sutha Abimanyu, dalam sanggah kemulan.

Pendirian / Pembangunan sanggah sebagaimana dijelaskan tetap berdasarkan uger - uger atau ketentuan yang diberlakukan seperti sanggah kemulan sebagai salah satu tempat suci pekarangan rumah disebutkan sanggah yang berada di merajan yang secara konvensional pendirian bangunan tersebut berdasarkan atas lontar yaitu : asta dewa, asta kosala-kosali dan asta bhumi.

Jika mengacu pada petunjuk lontar tersebut, maka pembagian peruntukan lahan selalu berpijak pada ajaran Tri Hita Karana, dimana akan disediakan lahan untuk menghubungkan diri dengan tuhan (uttama mandala) dalam bentuk pendirian sanggah di merajan.

Lahan untuk menghubungkan dengan antar sesama (madya Mandala) dalam bentuk perumahan. Dan lahan untuk berinteraksi dengan alam lingkungan (nista mandala) dalam bentuk teba lengkap dengan tanaman dan ternak peliharaan.

Pitra puja yaitu pemujaan kepada leluhur merupakan kewajiban bagi umat hindu sebagai pelaksanaan ajaran yadnya khususnya pitra yadnya dan erat kaitannya dengan adanya pitra rna.
 
Secara fisik, terutama bagi umat hindu di bali dan sekarang sudah pula dibawa konsepnya di luar Bali, wujud nyatu ditandai dengan dari pitra puja itu pendirian sanggah. Sanggah kemulan di Merajan inilah yang berfungsi sebagai tempat suci memuja roh suci leluhur yang telah menjadi dewa pitara (sidha dewata).

Ditambahkan, dalam hal membangun sanggah / pelinggih di merajan yang lengkap sesuai dengan Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi disebutkan dalam Babad Bali, bangunan niyasa yang ada dapat disebut sebagai "turut" atau berjumlah 3,5,7,9, dan 11.
  • Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti (Tri Murti) : Brahma, Wisnu, Iswara), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. 
  • Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. 
  • Turut 7: yaitu turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rwa Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. 
  • Turut 9 yaitu  turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala disebut sebagai pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi (alam bhur loka) yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup kembali. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. 
  • Turut 11 yaitu turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu di Pura Kawitan. Gedong Kawitan sebagai pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu sebagai pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari / Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas.

Bila halaman pura yang dibangun tersebut terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Demikian sanggah dijelaskan, baik pengertian maupun hal - hal yang penting dalam membangun sanggah tersebut.
***