Brahmana Sapinda

Brahmana Sapinda adalah seorang brahmana (pendeta/sulinggih) lahir berdasarkan hubungan darah dari orang suci atau para pertapa yang ada sebelumnya. 

Di dalam Prasasti Pura Puseh Sading dan piagem Dukuh Gamongan, raja-raja Bali Kuno setelah habis masa pemerintahan secara konsisten melakukan hidup suci menjadi seorang pertapa atau me-wanaprasta ke tempat yang lebih tinggi,
untuk mencari ke agungan Tuhan / Hyang Widhi, sehingga akhirnya beliau sampai di Gunung Lempuyang
Hal ini mulai terlihat jelas dari raja Sri Jayasakti yang merintis pedharman (pertapaan) di Gunung Lempuyang dan diteruskan oleh keturunannya yaitu; Sri Gnijaya, Sri Maha Sidhimantradewa, Sri Indracakru, Sri Pasung Grigis, Sri Rigis, Sri Pasung Giri, Dukuh Sakti Gamongan dan keturunan Dukuh lainnya yang meneruskan pertapaan yang terletak di Desa Adat Gamongan. Sri Pasung Giri inilah yang menurunkan para Dukuh yang tersebar di Bali sebelum masuknya para Brahmana Majapahit. 
Nama keluarga dan nama raja masih tetap disandangnya walau pun telah melakukan hidup suci dan tanpa amari aran (ganti nama) seperti yang diberikan oleh Guru Nabe dalam suatu sekte yang ada di Bali pada era itu. Dalam hal ini secara implisit para raja Bali Kuno tidak secara tegas telah mengikuti sekte atau paham apa beliau pada era itu. 
Para raja Bali Kuno melakukan hidup suci dengan belajar dari alam sekitarnya, melalui tapa, brata, yoga, semadhi. Gelar Dukuh ditegaskan kembali bagi keturunan raja Bali yang melakukan hidup me-wanaprasta oleh Pedanda Sakti Wawu Rauh pada era pemerintahan Dalem Waturenggong, seperti tertulis dalam Piagem Dukuh Gamongan tersebut. 

Dalam Piagem Dukuh Gamongan, Gelar Dukuh Ditegaskan Kembali oleh Danghyang Wawu Rauh di zaman Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, berikut:

. . . sira Pasung Giri, asentana limang diri, kang panwa apasadnyan sira Dukuh Gamongan, panugrahan nira Danghyang Bawurawuh, manenggekin, mwang manisyanin, maring Gunung Lempuyang, wetning treh nira Hyang Sidhimantra, amuja parikrama, maring kahyangan nira Hyang Gnijaya . . .

(Piagem Dukuh Gamongan, halaman 21a).

Arti Bebas:

. . . .  beliau Pasung Giri berputra lima orang, yang tertua bernama Dukuh Gamongan, panugrahan beliau Danghyang Bawurawuh, yang mengepalai dan sebagai orang suci di Gunung Lempuyang, memang asal keturunan Hyang Sidhimantra, memuja dan mendoakan haturan umatnya yang ada di tempat suci Hyang Gnijaya . . . . . .

Dalam Pangeling-eling I Dukuh Gamongan pangandika Raja Ida Anake Agung, I Gusti Ngurah Made Karangasem, disebutkan:
Dukuh Gamongan, ira ngidih sukaan I Dukuh Gamongan, tunasang ira kasidian, teken bhatara ditu digunung Lempuyang, di Bukit Bisbis, di Telaga Sawang, yen suba ira makantos maan pamuktian dini di Karangasem, tur asing-asing gebug ira sida kalah baan ira, ira ngebug Sibetane, ira ngaturang abah-abah sapradeg tur ira ngadakang acin-acin Bhatarane ditu, di Lempuyang, di Bukit Bisbis, di Telaga Sawang, tur ira manyiwi kema, tur ira ngadakang juru sapuh, mamahayu, nureksayang sane rusak, pepayone di Bukit Bisbis, di Telaga Sawang lempuyang sane kapahayu baan Dukuh Gamongan, kenehe masangkepin, tur mitindihan I Dukuh Gamongan, manukuhan, manisyanin, tur ira tusing ngenain I Dukuh Gamongan pejah panjing, cacamputan, tetegenan, tan kawasin gentosin sentanane Dukuh Gamongan.
(Pangeling-ngeling Dukuh Gamongan)

Arti Bebas:
Dukuh Gamongan, saya minta pemberkatan I Dukuh Gamongan, mohonkan saya tuah, dengan Bhatara yang  berstana digunung Lempuyang, di Bukit Bisbis, di Telaga Sawang, kalau sudah dapat hasil disini di Karangasem, dan setiap saya serang dapat saya taklukan, saya serang Sibetan, saya menghaturkan seperangkat busana pura dan mengadakan upacara yadnya dan upakara Bhatara disana di Lempuyang, di Bukit Bisbis, di Telaga Sawang dan saya akan menyembah Bhatara kesana, dan saya akan menyediakan tukang sapu, memperbaiki yang telah rusak, pohon-pohon kayu yang ada di Bukit Bisbis, di Telaga Sawang yang dilaksanakan oleh Dukuh Gamongan, hendak menyatukan, dan mendukung I Dukuh Gamongan manukuhin, bertanggung jawab dan saya tidak akan membebani I Dukuh Gamongan kewajiban tanggungan istana sampai keturunan, tak ada yang berkuasa menggantikan keturunan Dukuh Gamongan.
Perlu juga diketahui ada beberapa acuan dalam mengenal dan menganalisa tentang keberadaan Dukuh yang ada di Bali, dimana sebenarnya istilah Dukuh sudah ada sebelum datangnya Danghyang Nirartha ke Bali, ini bisa kita lihat dalam Prasasti Dalem Sagening disebutkan; kekosongan pemimpin setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dua pendeta Bali yaitu; Dukuh Sakti dan Dukuh Sagening memohon raja ke Jawa (Majapahit) untuk mengirimkan utusan menjadi raja di Bali. Pada saat itu yang didatangkan ke Bali adalah Dalem Sagening. 
Dimana Dalem Sagening nantinya mensetarakan kedudukkan Dukuh Sagening dan Dukuh Sakti yang datang ke Jawa sebagai penghormatan ditambah kata Dalem. Dimana sebelumnya istilah Dukuh itu sudah ada tetapi gelar Dukuh Dalem itu muncul pada era Dalem Sagening sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diberikan pada ke dua Dukuh tersebut.
Dalam Purana Dalem Tarukan, bahwa Dukuh Bunga, Dukuh Jati Tuhu, Dukuh Pantun adalah Bagawanta dari pada Dalem Tarukan. Begitu juga Wangbang Pinatih memiliki seorang ibu dari keturunan Dukuh Bang Sakti.

Dalam Prasasti Manik Angkeran di Besakih dijelaskan, pada saat beliau ada di Bali untuk mengemban Ida Naga Basuki, dalam suatu perjalanan beliau bertemu dengan seorang tokoh tua yang sedang duduk di kiskis (cangkul). Tokoh tua ini habis mengerjakan ladangnya setelah beliau payah beliau duduk diatas kiskis (cangkul). 
Pada saat itu datanglah Ida Manik Angkeran, dan tokoh tua itu turun dari kiskisnya dan menanyakan siapa gerangan anak muda yang baru datang ini. Anak muda ini menyahut putra dari Mpu Bekung atau yang disebut Danghyang Sidhimantra. 
Dalam pertemuan ini terjadi suatau perdebatan atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk pengujian kemampuan, dimana pada saat itu dilihat tokoh tua ini tiada lain adalah Dukuh Blatungan sedang membakar sampah hasil rabasan di ladangnya dengan menggunakan api biasa, tetapi tokoh muda ini beliau mengatakan mampu membakar sampah ini hanya menggunakan air kencing. 
Pada waktu itulah tokoh tua ini, kalau memang benar beliau mampu membakar sampah ini hanya menggunakan air kencing maka beliau akan menyerahkan semua sisya dan sanak keluarganya kepada tokoh muda ini. Dan betul pada hari yang telah ditentukan, tokoh muda ini membakar semua rumput itu dengan hanya mengencingi sampah / rumput tersebut. Sehingga sesuai dengan janji, maka tokoh tua yang tiada lain adalah Dukuh Blatungan ini menyerahkan semua sisya, sanak saudara beserta putrinya diserahkan kepada Manik Angkeran.
Dan pada akhirnya putri Dukuh Blatungan inilah yang menjadi cikal bakal turunnya Warga Manik Angkeran yaitu, yang pertama Sidemen (I Gusti Ngurah Sidemen), yang ke dua Manikan (Gusti Ngurah Manikan), yang ke tiga Wayabya, yang ke empat Pinatih. Dan beliau itulah awal cikal bakal adanya Catur Sanak dari warga keturunan Sidhimantra di Bali yang diturunkan oleh Manik Angkeran. Jadi pada era itu juga dikenal adanya Dukuh yang disebut Dukuh Blatungan.

Sedangkan beberapa pura yang ada di Bali, terutama pura gunung yang ada patirtan, itu sepenuhnya di emban oleh Dukuh. Ini bisa kita lihat dari Gunung Lempuyang sampai Gunung Batukaru itu semuanya masih embanan Warga Dukuh. Itu menandakan penghormatan untuk Brahmana Bali di era itu yang sampai saat kini masih ada.

Jadi sangat keliru seseorang menganggap Klen Dukuh itu adalah Brahmana sudra yang telah mabersih (ditahbiskan) menjadi bagawanta kerajaan Bali pada zaman itu, seperti tertulis dalam buku Dinamika Sosial Masyarakat Bali oleh Tim (2008:150). 
Kita bisa bayangkan bagaimana mungkin seorang sudra menjadi bagawanta seorang raja, yang keturunannya sangat dihormati sampai saat kini. Kalau memang demikian halnya tentunya dari dahulu Bali ini dipimpin oleh orang sudra karena mereka memiliki seorang ibu dan mertua turunan dari seorang sudra yaitu Dukuh.
Dalam Lontar Siwa Sasana yang menjadi acuan untuk kesulinggihan di Bali, dimana dijelaskan bahwa yang disebut Brahmana sudra adalah seorang Brahmana (sulinggih) dimana keseharian beliau bekerja sebagai seorang petani disamping melakukan tugas ngaloka palasraya, beliaulah yang dikategorikan Brahmana sudra karena tugas, bukan sudra dalam segi wangsa, karena beliau mengambil tugas seorang sudra sebagai petani. Karena petani dalam Catur Warna beliau dikategorikan Sudra. 
Hal ini perlu dicamkan dengan baik yang disebut Brahmana sudra bukan karena sumbernya dari Sudra tetapi mereka mengerjakan karena tugas dari Warna Sudra sebagai petani yang ada dalam Siwa Sasana yang sampai kini masih dipakai sepenuhnya oleh para Brahmana yang ada di Bali.
Demikian dijelaskan Brahmana Sapinda dalam sejarah munculnya brahmana dukuh di Bali.
***