Lempuyang

Secara etimolgi Lempuyang berasal dari bahasa Jawa Kuno, (Zoetmulder: 565, 337), dari urat kata Lampu dan Hyang.
  • Kata Lampu artinya menyerah, menyerahkan diri, melepaskan harapan, tidak menghiraukan atau menerima saja akibat-akibat. 
  • Dan Hyang berarti yang dipuja seperti dewa, Tuhan, dewa yang khusus bertalian dengan tempat, orang yang berbakti terhadap kesucian, yang taat kepada agama, pertapa, biarawan, biarawati. Jadi Lempuyang berarti tempat pertapa melepaskan keterikatan duniawi, dalam proses pecaharian jati diri terhadap Tuhan atau dewa yang dipuja di gunung atau tempat tersebut. 
Raja-raja Bali Kuno setelah selesai masa pemerintahanya bersifat konsisten melakukan pertapaan ke gunung atau ketempat yang lebih tinggi menjalani kehidupan wanaprasta yaitu melepaskan keterikatan duniawi untuk mendapatkan kemuliaan dan kesadaran agung tentang Tuhan/Hyang Widhi, yang pada akhirnya beliau sampai di desa Gamongan, Gunung Lempuyang, sesuai uraian dalam prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, dan Piagem Dukuh Gamongan. Demikianlah sedikit interpretasi tentang Arti Kata Lempuyang dan Gamongan sebagaimana yang dijelaskan.

Begitu pula disebutkan,
  • Mpu Gnijaya, yang juga menetapkan konsep Tri Hita Karana di Bali, beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang yaitu di Pura Lempuyang Madya .....
  • Lempuyang Luhur yang terdapat sebuah Pura Lempuyang, Ida Bhatara Hyang Genijaya melaksanakan yoga samadhi sampai mencapai kesempurnaan bathin amoring acintya......
  • Tidak semua bambu yang ada di puncak Pura Lempuyang disebutkan bisa menghasilkan air sebagai Tirta Pingit. “ 
  • Pohon bambu ini sangat pingit (angker), sehingga sebelum dipotong disebutkan hendaknya ngaturang panguning (memohon).