Mulih ke Tanah Wayah

Mulih ke tanah wayah adalah perjalanan kembali sang atman menuju asalnya yaitu alam swah loka untuk dapat mencapai moksa dalam kebahagiaan dan kedamaian yang abadi.

Diawali dengan terlepasnya sang jiwa (atman) dengan sthula sarira badan fisiknya; 
Sebagai hukum alam, fenomena yang sangat alamiah yang akan menimpa semua makhluk hidup pada akhirnya.
Dan alangkah baiknya kalau kita memahami terlebih dahulu tujuannya;
Agar ketika hal itu benar - benar datang, kita sudah sangat siap dan bisa mengalaminya dalam keadaan yang sangat shanti [damai].
Dimana dahulu para tetua Bali biasanya menyebutkan, 
Atma datang lahir tidak membawa apa-apa bahkan badan fisik-pun baru didapat di alam marcapada ini dan pergi mati juga harus tidak membawa apa-apa serta merelakan semuanya yang tidak kekal ini. 
Sehingga satu-satunya fokus yang harus dan wajib kita lakukan adalah menemukan jalan menuju alam-alam suci sebagai ajaran suci Hindu Dharma dalam rahasia kematian yang lebih terang, dimana disebutkan :
Ketika kita mati, kita berpisah dengan sthula sarira (badan fisik) kita. 
Akibatnya semua rekaman atau memory dari seluruh kehidupan kita (yang tersimpan di karana sarira) muncul dan jebol semua, karena tidak ada lagi badan fisik yang menjadi penghalang (membuat kita lupa).
Sehingga di alam kematian, seluruh akumulasi pengalaman hidup baik dan buruk (atau prilaku subha karma maupun asubha karma) dan akan muncul dari segala sudut pikiran, kejadian demi kejadian. Seperti film yang diputar cepat.

Semua kejadian dan pengalaman hidup (sebagai gambaran dari karma wasana) kita akan terlihat sangat jelas dan detail layaknya kita menonton film layar lebar..
  • Itulah nantinya ditunjukan oleh Sang Suratma sebagai pencatat segala perbuatan yang nantinya juga sebagai pendamping Bhatara Kawitan di Bale Pengangen angen dalam perjalanan atman menuju alam swah loka.
  • Dalam upacara ngaben disebutkan,
    • Penggunaan banten panjang ilang berfungsi sebagai pengadang - adangan; 
      • Ditujukan kepada butha kala yang dapat menghambat perjalanan sang atma ke alam baka.
    • Manuk Dewata sebagai wahana sang atman yang berfungsi untuk melancarkan perjalanan atman dari berbagai rintangan atau hambatan yang akan dialami oleh roh dalam perjalanannya menghadap Sang Hyang Widhi.
Selengkapnya dalam samsara perjalanan sang atma juga disebutkan, 
Ketika kesadaran terakhir kita dari berhubungan dengan alam fisik telah lenyap, tahap berikutnya adalah kesadaran atma akan melompat berpindah dari sthula sarira [badan fisik] ke lapisan badan karana sarira;
Dimana salah satu aspek dari karana sarira adalah lapisan badan ini merupakan "gudang" tempat penyimpanan rekaman dan ingatan atau memory seluruh kehidupan-kehidupan kita dan karma-karma kita.
Artinya beberapa saat setelah ikatan jejaring unsur-unsur panca maha bhuta pembentuk badan telah sepenuhnya kehilangan kekuatannya, seseorang akan mengalami tahap transenden pertama, yaitu kesadaran atma akan melompat berpindah ke lapisan badan karana sarira dan diikuti munculnya rekaman atau memori dari seluruh masa kehidupan kita yang tersimpan di karana sarira.
Seluruh akumulasi pengalaman kehidupan akan muncul dari segala sudut pikiran, kejadian demi kejadian. Seperti film yang diputar cepat. Semua kejadian dan pengalaman hidup kita akan terlihat sangat jelas dan detail layaknya kita menonton film layar lebar.
Bila dalam masa kehidupan kita hidup dengan banyak mementingkan diri sendiri dan banyak melakukan pelanggaran dharma, angkuh, sombong, serakah, ingin menang sendiri, pemarah, tidak jujur, banyak iri hati-nya, pikirannya dualistik, dsb-nya, tahap transenden pertama ini akan menjadi pengalaman yang mengerikan. 
Setiap orang dan setiap mahluk yang pernah kita hina, kita jelek - jelekkan, kita tipu, kita sakiti, dsb-nya, dalam masa kehidupan akan muncul dengan penuh amarah dan mungkin dengan wujud mengerikan. 

Moment kehidupan kita yang penuh kesalahan dan gejolak emosi akan diputar kembali, yang akan membuat seluruh perasaan kita kacau-balau, mengerikan, dipenuhi rasa kengerian, rasa ketakutan dan rasa kesedihan mendalam.
  • Kita juga akan mendengar berbagai suara-suara mengerikan. 
  • Suara-suara seolah-olah kita akan dicincang, disiksa, dibunuh dan berbagai suara-suara mengerikan lainnya. 
  • Harus dipahami bahwa suara-suara ini bukanlah suara setan, juga bukan suara Tuhan yang marah dan menghukum, melainkan suara yang merupakan bayangan atau pantulan dari samskara atau kondisi pikiran kita sendiri. 
    • Terutama rasa bersalah dan pantulan sifat-sifat jahat yang sama sekali tidak akan bisa lagi disembunyikan, ditipu-daya atau dimanipulasi disini.
Seluruh kejahatan langsung maupun tidak langsung yang kita lakukan semasa kehidupan, yang menyakiti, menyiksa atau menyengsarakan mahluk lain, dampak kesengsaraannya akan menghujam kita bagai hujan pisau yang sangat menyakitkan pikiran kita di moment ini.

Sebaliknya bila dalam masa kehidupan kita hidup dengan bathin bersih, penuh welas asih, banyak melakukan kebaikan-kebaikan dan jarang melakukan pelanggaran dharma
Tahap transenden pertama ini akan menjadi pengalaman yang damai dan indah. Setiap orang dan setiap mahluk yang kita sayangi, atau yang pernah kita bantu atau kita bahagiakan dalam masa kehidupan akan menyambut kita dengan senyuman hangat, rasa sayang dan penuh rasa terimakasih. 
Dengan kualitas kehidupan yang demikian mulia, kita juga bisa mengalami pengalaman surgawi bertemu mahluk-mahluk suci atau bertemu dewa-dewi. Disana akan muncul kedamaian di dalam menyambut kematian.
Orang yang semasa hidupnya bathinnya bersih, sangat jarang melakukan pelanggaran dharma dan benar-benar baik hatinya, cenderung akan melewati alam ini dengan lebih lancar dan tenang.
Seluruh kebaikan langsung maupun tidak langsung yang kita lakukan semasa kehidupan, yang membahagiakan, melegakan atau menyenangkan mahluk lain, di moment ini dampak kebahagiaannya akan mengguyur kita laksana mata air yang segar dan jernih yang menyejukkan pikiran kita.
Diperkirakan, durasi atau jangka waktu terjadinya proses ini bagi mereka yang akan mati adalah selama sekitar 20 menit sampai dengan 60 menit. Setiap orang durasinya berbeda. Tapi bagi mereka yang hanya mengalami mati suri durasinya bisa lebih panjang.
Inilah pengetahuan dharma yang sangat penting untuk diketahui dalam proses kematian : apapun yang terjadi tahap transenden pertama ini, sangat penting di tahap ini untuk tidak terseret oleh arus emosi dan perasaan seperti rasa bersalah, rasa sedih, rasa takut, rasa marah, rasa tidak rela, dsb-nya. 
  • Bathin kita harus tetap tenang-seimbang dan memandang semua pengalaman tersebut dengan damai dan penuh welas asih. 
  • Karena sekali lagi, kondisi bathin kita pada setiap tahap-tahap kematian yang akan menjadi penentu ke alam mana atma kita selanjutnya akan pergi.
Dan tentu saja bagi mereka yang dalam masa kehidupan banyak mementingkan diri sendiri, banyak melakukan pelanggaran dharma, angkuh, sombong, serakah, ingin menang sendiri, pemarah, tidak jujur, banyak iri hati-nya, pikirannya dualistik, dsb-nya, upaya menjaga keseimbangan bathin di tahap transenden pertama ini mungkin akan amat sangat berat dan sulit untuk dilakukan. Sehingga pentingnya disebutkan :
  • Tekun melaksanakan sadhana dharma  yaitu dengan : 
    • Tidak mementingkan diri sendiri, 
    • Mengendalikan diri, 
      • Dan bila direnungkan secara lebih seksama dari ajaran lontar wratisasana mengenai tata susila yang sangat penting untuk dapat menjaga diri, mengendalikan diri menasehati diri sehingga seseorang dapat :
        • Menahan diri dari berbagai tantangan, hambatan, gangguan, maupun masalah hidup dan kehidupan antara perseorangan dengan yang lainnya dalam semangat kebersamaan paras paros di masyarakat.
    • Selalu bersikap penuh welas asih, 
    • Banyak melakukan kebaikan, 
    • Tidak menyakiti, 
  • Melaksanakan Tri Kaya Parisudha dimana yang sekiranya dalam Mantram Tri Sandhya yang mana pada bait ke 6 diucapkan,
    Om ksàntavyah kàyiko Dosahksàntavyo vàciko mamaksàntavyo mànaso dosahtat pramàdàt ksamasva màm
Yang artinya : Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelahiran hamba. 
  • Rajin sembahyang [atau japa mantra] dan berlatih meditasi untuk mendapatkan ketenangan hati dan kedamaian pikiran.
***