Wariga

Wariga disebut juga dengan “jyotisha” atau "jyotisa" adalah ilmu tentang perbintangan (jyotir atau cahaya) yang dikelompokan dalam wedangga sebagai bagian pelengkap dari Weda yang isinya disebutkan memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan sebagai pedoman dalam melakukan upacara yadnya agar tujuan yajna dapat tercapai dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Pengetahuan tentang wariga ini disebutkan sangat terkenal di masyarakat.
Sehingga dari dahulu dan sampai sekarang pun para petani mempelajari wariga ini untuk mencari masa bercocok tanam.
Para pedagang mempelajarinya untuk mencari hari baik (ala ayuning dewasa) mulai berdagang, membuat alat perdagangan dan berbagai bentuk keberuntungan. Para pendeta (Brahmana/sulinggih) mempelajari wariga ini untuk menentukan hari baik untuk melaksanakan upacara yadnya dll, demikian disebutkan dalam wariga bali, jalan pembebasan sehingga wariga ini merupakan pengetahuan yang sangat populer di masyarakat yang secara garis besarnya disebutkan terdiri dari bagian - bagian :
  1. Pawintangan | ilmu perbintangan sebagai warisan dari para maha rsi.
  2. Sasih | peredaran gerak matahari mengelilingi bumi atau mayapada kita ini dan bulan mengelilingi bumi.
  3. Wuku | berjumlah 30 dari Shinta – Watugunung.
  4. Wewaran | tentang nama-nama hari yang mana setiap hari memiliki sepuluh nama (dasa nama) yang diwujudkan dengan Eka Wara sampai Dasa Wara.
  5. Dedauhan | pembagian waktu selama satu hari.
Dari beberapa pengetahuan tentang wariga tersebut dijelaskan terdapat beberapa pelajaran-pelajaran yang berharga untuk perkembangan manusia. Pelajaran-pelajaran tersebut merupakan pokok-pokok filsafat kehidupan yang bisa digunakan untuk menuntun orang mencapai pembebasan.

 Ajaran-ajaran tersebut seperti :
  • Kosmologi | ilmu tentang kesemestaan, 
  • Ontologi | ilmu tentang esensi kehidupan dalam hubungannya dengan Tuhan,
  • Etika | tuntunan prilaku yang mengatur kehidupan manusia.
Dalam bunyi Tenung Wariga sebagaimana disebutkan dalam Lontar Anda Bhuwana yang menceritakan perjalanan Dewi Giriputri untuk mendapatkan air susu lembu dengan cara tidak patut, ketika Bhatara Paramestiguru mengetahui hal tersebut yang kemudian mengutus putranya Bhatara Gana menghadap Bhatari Giriputri untuk menyampaikan hal tersebut sehingga menyebabkan Bhatari Giriputri sangat marah, lalu Pustaka Tenung Wariga itu dibakar.
Akan tetapi, dengan sigap Bhatara Gana menyalin kembali pustaka yang terbakar tersebut sebagaimana aslinya. 
Bhatara Gana sangat marah, lalu mengutuk Bhatari Giriputri menjadi Dewi Durgha serta tidak dibenarkan bertemu kembali dengan Bhatara Paramestiguru.
Bhatari Giriputri menyesali perbuatannya, lalu menghadap Bhatara Paramestiguru untuk menyampaikan kutukan putranya Bhatara Gana pada dirinya.
Dengan adanya pengetahuan tentang wariga ini seperti dijabarkan diatas, maka sebagaimana juga disebutkan dalam Lontar Medangkamulan dan Lontar Bagawan Garga tentang kelahiran wuku, keberadaan alam semesta atau bhuwana agung ini, serta menceritakan para dewa dan rsi yang juga diwujudkan dalam tingkatan dan angka - angka yang telah ditentukan untuk masing - masing urip wewaran / neptu dalam rumus perhitungan wariga dan dewasa ayu Kalender Bali sehingga sampai saat ini dengan etika dan etikad yang baik pula, pengetahuan tentang wariga ini sebagai tuntunan bagi orang - orang Bali khususnya bagi umat Hindu Dharma dapat menentukan hari baik berdasarkan wariga dan dewasa ayu dalam setiap upacara yadnya yang biasa dilaksanakan.

Beberapa bagian dari pengetahuan wariga ni di jabarkan seperti dalam manuskrip & teks-teks kuno seperti halnya :
***