Kutukan adalah "Pastu" dalam bahasa Balinya atau "Kepastu" yang berarti dikutuk, yaitu sebuah ucapan yang dapat menyebabkan terjadinya dosa secara turun-temurun sebagai akibat dari melanggar norma sosial dan norma ajaran agama yang umumnya menjadi sumber dari sebuah ketakutan.
Namun demikian, dalam naskah-naskah yang termuat dalam lontar, babad dll biasanya sebuah kutukan akan menjadi kisah yang menarik,
untuk selalu diingat oleh setiap umat manusia agar dapat menghindari hal-hal yang menjadi sebab dan akibat dari kutukan tersebut sehingga sampai kinipun menjadi pedoman atau larangan-larangan yang patut dihindari dalam menjalani kehidupan ini menjadi lebih baik.
Seperti halnya ketika diceritakan pada zaman dahulu, dengan perenungan selama 1000 tahun, Kausika sudah tidak tergoda bidadari lagi. Akan tetapi, tiba-tiba kesadaran Kausika muncul, dia telah menguasai ilmu yoga,
Tetapi belum bisa mengendalikan diri dan masih sering mengutuk. Padahal dia sudah belajar kelembutan dari Menaka sebelumnya. Potensi kekerasan masih ada dalam dirinya.
Selanjutnya Kausika segera meneruskan tapanya dengan membisu. Tak mau bicara dengan siapa pun. Bukan hanya diam agar tidak menyakiti orang lain, Kausika pun diam agar tidak ada keangkuhan dalam dirinya untuk memperlihatkan kelebihannya.
Dan pada akhirnya, para dewa menghormati semangat tak kenal lelah Kausika dan memberinya sebutan Brahmarsi yang bergelar Rsi Wiswamitra.
Pendapat mengenai kutukan sebagai mitos dosa tujuh turunan meracuni pikiran tersebut dalam salah satu kutipan artikel majalah Hindu Raditya disebutkan bahwa :
Pemeluk agama Hindu selalu dianjurkan berbuat dalam pertimbangan sifat satwika di dalam aspek kehidupannya sesuai hukum karmaphala, sehingga praktek penebusan dosa (Beichte) tidak dilakukan dengan berbarter dengan Tuhan tetapi dilakukan dengan menguasai ajaran rohani guna menyeberangi lautan dosa tersebut.
Menurut faham Hindu, dosa tersebut akan berangsur-angsur berkurang bilamana kita melakukan sesuatu kegiatan tersebut berpasrah diri (Dahsyam) tanpa harus terikat hasilnya.
Yang pokok adalah bagaimana membuat sarwa prani tersebut senang dan selalu berada pada jalur perintah kitab suci.
Dengan cara seperti itu masyarakat akan selalu berusaha membuat orang lain senang atau bahagia sehingga umat Hindu diajarkan untuk dapat mengasihi makhluk lain (prema) dan bukan menyumpahi mereka dengan dosa tujuh turunan.
Kata Śapa atau Śapatha pada juga berarti kutukan dan bukan sumpah seperti dalam proses pengadilan.
Dan orang yang mengalami kutukan, informasinya sangat banyak seperti halnya setan, dosa, dan kutukan dalam perspektif Hindu disebutkan dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihāsa (Rāmāyaṇa dan Mahābhārata) maupun dalam kitab-kitab Purāṇa, karya sastra, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja baik di India, di Nusantara, termasuk di Bali ditemukan informasi tentang kutukan tersebut.
Bahkan para dewapun tidak luput dari kutukan yang dapat menimpaNya yang dalam lontar-lontar babad (ceritra-ceritra leluhur) di Bali ditemukan juga hal itu dan umumnya disebut dengan Bhisama yang juga di dalamnya terdapat śapatha.
Namun, sebuah kutukan atau Śapatha disebutkan juga dapat diakhiri yaitu :
- Dengan berbagai upacara (ritual, seperti prayaścitta, nilapati dan danda kalêpasan atau hukuman dalam bentuk pelaksanaan upacara desa adat tertentu).
- Melakukan pertapaan (termasuk pula berbagai bentuk puasa) yang dilakukan dengan tekun.
Atau juga dengan Tirtha Sanjiwani sebagai anugerah dari Widyadari Gagar Mayang sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara yang berfungsi sebagai pelebur atau pralina kehidupan ini.
- Dengan percikan tirtanya, Mirah Merta sanjiwani ini juga disebutkan dapat digunakan untuk memusnahkan efek dari kutukan atau yang terkena sumpah cor.
Dalam beberapa kisah yang tersebut dalam mahabharata, sebuah kutukan tidak selalu menimbulkan dosa namun juga dapat menjadi kekuatan sebagaima dahulu diceritakan tatkala perjalanan Arjuna tiba di Indra Loka, akibat kutukan dari Dewi Urwasi, oleh Arjuna dimanfaatkan secara efektif dan efisien, ketika menyamar di kraton Wirata ini.
***