Perkawinan Beda Agama

Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri.

Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan.

Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

Tentang perkawinan beda agama, bagi kita umat Hindu tidak dibenarkan, dalam Manawa Dharmasastra (Tritiyo ‘dhyayah) disebutkan bahwa;

“Acchadya carcayitwa ca, sruti sila wate swayam, ahuya danam kanyaya, brahma dharmah prakirtitah” – Manawa Dharmasastra 3.27 (Tritiyo ‘dhyayah)

Artinya:
Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias dan setelah menghormat kepada seorang ahli weda yang berbudi bahasa baik yang diundang oleh ayah si gadis, itulah perkawinan brahma wiwaha.

Tafsirnya:
seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh seorang Wiku).

Oleh karena itu bila ada beda agama, maka penganten agar ‘di-Hindu-kan’ dahulu dengan upacara sudhi waddani.

Setelah itu barulah pawiwahan dapat dilaksanakan. berkaitan dengan kemajuan keadaan saat ini di mana banyak orang yang mendukung pluralism (pluralization), mungkin kurang tepat kalau kita masukkan dalam ’srada’ karena masalah keyakinan dan kepercayaan setiap pemeluk agama adalah masalah yang sangat pribadi dan individual.

Perkawinan antar agama ini menyangkut dua aspek;
  1. Pertama adalah masuk Hindu;
  2. Perkawinan dengan segala akibat hukumnya (warisan).
Keduanya saling mengkait. Perkawinan di mana sang suami (Agama Lain) mengikuti agama istri (Hindu) sebenarnya tidak ada masalah; upacaranya dengan Sudi Waddani mendahului upacara perkawinan. Yang jadi masalah jika perkawinan itu berdampak kepada Hukum Waris yang di dalam istilah adat di Bali dinamakan “ngrajeg dalem” atau “nyentana”.

Jika ini yang dimaksud maka tindakan hukum ini harus mendapat persetujuan dari semua ahli waris yang berhak, di mana persetujuan atau penolakan harus dilakukan secara tertulis, dan untuk amannya dibuatkan Akta Notaris. Apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak dengan maksud ngrajeg dalem harus pula dinyatakan dengan tegas dalam suatu akte agar tidak menyulitkan para ahli waris di kemudian hari.

Bagi mereka yang tadinya beragama lain kemudian menjadi Hindu tentulah saat bersejarah itu ada patokannya yaitu segera setelah ia mengucapkan kata-kata suci yang disebut Suddhi Wadani. Kata-kata suci itu tiada lain pernyataan dan pengakuan bahwa Tuhan itu Hyang Widhi dengan berbagai bentuk manifestasinya. Suddhi Wadani kemudian dibuatkan dokumen yang disahkan PHDI. Suddhi artinya suci, dan wadani artinya ucapan. Jadi Suddi wadani adalah ucapan suci dari seseorang yang mengakui bahwa Tuhan adalah Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Prosedurnya sebagai berikut:
  • Hubungi PHDI setempat minta blangko surat pernyataan masuk agama Hindu dan blangko surat keterangan Suddhi Wadani.
  • Undang saksi-saksi yaitu PHDI, Lurah, Klian Desa Adat (jika di Bali), saudara, ayah/ ibu, teman dll.
  • Minta seorang rohaniawan (Pandita atau Pinandita) memimpin upacara.
  • Yadnya yang diperlukan minimal banten pejati dua buah dan beakala. Pejati satu untuk pesaksi Siwa Raditya (Dewa saksi), dan yang satu untuk penganteb rohaniawan. Beakala kecil untuk Bhuta saksi. Bentuk upakara lain dibolehkan asal terdiri dari unsur-unsur: bunga, biji-bijian/ buah, daun-daunan, api dan air (panca upakara)
Suddhi Wadani dilakukan dengan meniru ucapan aksara suci dan mantram dari rohaniawan:
OM I BA SA TA A
OM YA NAMA SIWAYA
OM ANG UNG MANG,
OM SA BA TA A I
OM YA NAMA SIWAYA
OM MANG UNG ANG

Artinya:
OM = AUM, I = Isana, BA = Bamadeva, Sa = Sadiyojata, TA = Tatpurusha, A =Aghora, (semuanya adalah “nama-nama” Hyang Widhi sesuai manifestasi-Nya). Ya nama siwaya = atas kehendak/ kebesaran/ kekuasaan Hyang Widhi.

Untuk menjadi Hindu cukup dengan upacara Suddhi Wadani ini saja, tidak perlu dilengkapi dengan upacara manusa yadnya, sesuai dengan Keputusan Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu yang sudah disahkan PHDI.
............. Demikian penjelasan tentang perkawinan beda agama, dalam forum diskusi jaringan hindu nusantara (ref)
***