Jiwa

Jiwa adalah inti dari kehidupan seluruh mahluk hidup dan alam semesta ini.

Dimana kematangan jiwa manusia biasanya disimbolkan dengan sifat-sifat kedewasaan berprilaku.

Jiwa yang memiliki tubuh sementara "Apan pran eti svadhaya grbhito" hendaknya disebutkan seharusnya kita sebagai manusia menghargai hidup ini dengan tetap selalu berbuat baik untuk dapat meningkatkan perwujudan Atma selanjutnya.

Dan kekuatan jiwa itu akan sangat mempengaruhi kehidupan manusia. 
Kekuatan roh atau jiwa - jiwa tersebut selalu hidup walaupun dunianya telah berbeda. 
Yang mati hanya badan kasarnya saja sedangkan badan halusnya (atma) tetap hidup dan mampu menembus ruang dan waktu. 
Sikapnya pun tidak bisa dipastikan ada yang kehausan, ada yang kelaparan, ada pula yang polos, serta ada pula yang bijaksana, sesuai dengan bawaan sikap masing – masing sebagaimana dijelaskan oleh Taylor dalam Religi Primitive Culture.

Dalam kehidupan masyarakat prasejarah seperti halnya di Bali dikatakan bahwa :
  • Sebagai jiwa agung alam semesta untuk seluruh lapisan alam Tri Loka yang disebut sebagai Sang Hyang Tri Purusa
    • dipuja melalui Padma Bhuwana Tiga di Pura Agung Besakih 
    • sebagai pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya.
  • Jiwa yang juga merupakan bagian dari semua mahluk hidup termasuk manusia itu sendiri disebut dengan atman yang bersifat kekal dan abadi.
    • Ia tak pernah berobah. 
    • Ia tidak mati ketika badan mati. 
    • Ia tidak terluka oleh senjata, 
    • Tidak terbakar oleh api. 
    • Ia ada selamanya. 
    • Jiwa disebut sukma sarira.
Keheningan dan kejernihan jiwa pada saat melakukan tapa, brata, yoga, semadhi yang juga sebagai salah satu tujuan dan makna sembahyang disebutkan akan dapat menimbulkan vibrasi positif dimana jiwa terlepas dari rasa cemas, gelisah, bingung, ragu-ragu dan kecewa.
Sehingga nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai material hanya akan dapat dirubuhkan oleh manusia yang berjiwa tentram.
Karena manusia yang berjiwa tentram akan menjadi manusia-manusia yang produktif dan hidup bergairah. 
  • Sebab hidup di dunia ini akan dirasakan sangat indah dan semarak sebagai tempat berkarma untuk meningkatkan kesucian diri. 
  • Tidak akan ada suatu kemajuan di dunia ini kalau dunia ini di huni oleh manusia-manusia yang berjiwa gelisah, cemas, ragu-ragu dan selalu kecewa melihat keaadaan.
Jiwa dalam asal - usul manusia menurut agama Hindu, anak Bali disebutkan :
Atman merupakan bagian dari Brahman. Seperti setitik air hujan yang berasal dari samudera luas.
Pada akhirnya ketika kematian menjemput, 
sang jiwa (atman) juga disebutkan akan melewati alam Mrtya Loka dengan perlahan-lahan untuk melepaskan sisa-sisa keterikatan terhadap kehidupan duniawi dan kekasaran pikiran.
Sebagai perbandingan, pandangan tentang jiwa oleh beberapa filsuf dunia disebutkan sebagai berikut :
  • Peradaban eropa kuno, Plato, Filsuf Yunani dalam jw.org menyebutkan : ”[Pada waktu mati,] sesuatu yang adalah diri kita yang sebenarnya, dan yang kita sebut jiwa yang tidak dapat mati, pergi menghadap dewa - dewi lain, di sana . . . untuk memberikan pertanggungjawaban,
    • prospek yang dihadapi dengan berani oleh orang baik, 
    • tetapi dengan rasa takut yang hebat oleh orang jahat.
    • Plato—Laws, Buku XII.
Setelah upacara Nyekah dilakukan, ikatan atma sudah terbebas dari Panca Maha Butha dan panca tan matra, sehingga yang masih melekat dan dipertanggungjawabkan oleh atman (sang jiwa) ke hadapan Hyang Widhi adalah karma wasana, yaitu :
  • baik buruknya karma / perbuatan (Subha Karma dan Asubha Karma) sewaktu masih hidup.
  • Kondisi Karma Wasana inilah yang menentukan baik buruknya kehidupan dimasa yang akan datang, 
    • jika saja suatu saat berkeinginan untuk reinkarnasi dengan lahir kembali sebagai manusia ke dunia ini.
Dan sebagai jalan dharma, untuk dapat memberikan ruang pada belas kasih dan kebajikan di dalam pikiran kita, hal ini tidak saja memurnikan jiwa kita, 
tapi sekaligus juga disebutkan akan dapat mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain juga.
Sebagai tambahan, berkaitan dengan orang buduh sebagai akibat dari gangguan jiwa yang dialami disebutkan juga dapat diantisipasi dan disembuhkan melalui upacara melukat yang bertujuan untuk pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia yang dilaksanakan pada hari baik (dewasa ayu) sebagai tradisi yang sudah dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun dan masih terus dilakukan sampai saat ini.
***