Keheningan dan kejernihan jiwa adalah vibrasi energi positif sebagai landasan/pondasi yang kuat untuk dapat menumbuhkan mental dan moral yang berbudi luhur.
Sehingga diharapkan penarikan atau menghentikan sejenak segala aktifitas indria pada saat melakukan tapa, brata, yoga, semadhi maupun dalam melaksanakan sembahyang untuk dapat mencapai ketentraman jiwa.
Dengan mental yang baik dan moral yang berbudi luhur tersebut dalam menumbuhkan cahaya ketuhanan untuk mewujudkan jiwa masyarakat yang harmonis disebutkan juga akan dapat melahirkan sebuah tindakan yang subha karma (tindakan/prilaku yang baik), yang apabila hal-hal ini sudah tumbuh kokoh dalam jiwa kita maka musuh-musuh yang ada dalam jiwa kita akan lebur dan menjadi sebuah energi yang positif yang secara tidak langsung akan memberi vibrasi yang positif pula kepada orang lain dan lingkungan.
Dengan kekuatan energi positif (Cahaya ke-Tuhanan) yang telah mencerahi seluruh alam ini maka suasana akan menjadi lebih terang, jernih dan tenang.
Akhirnya dengan situasi dan kondisi inilah tercipta jiwa yang terang, dengan jiwa yang terang kita dapat berfikir yang lebih terang untuk mengatasi kekusutan mental yang masih dialami oleh banyak orang.
Pernyataan ini diperkuat dalam ucap sastra suci, yaitu Geguritan (kidung suci/kirtanam) Sucita Subudi yaitu sebagai berikut :
“Jenek ring Meru sarira, Kastiti Hyang Maha Suci, Mapuspa Padma Hredaya, Maganda ya tisning Budi, Malepana Sila Hayu, Mawija Menget Prakasa, Kukusing Sad Ripu dagdi, dupan ipun, Madipa hidepe galang”.
Artinya.
“Berstanalah Purusa dan Pradana (Ardanareswari/Tuhan) dalam badan, kekuatan yang berasal dari alam Sunya turun membumi,
- Tumbuh mekar dalam hati bagaikan bunga padma yang sedang mekar, menggema dalam keheningan, menaburkan bau harum yang menciptakan kesejukan bagi budhi pekerti, mampu berprilaku yang baik,
- Tumbuh dengan kokoh perkasa, mampu melebur musuh dalam diri menjadi sebuah energi,
Dupa (Agni/Paramatman/Jiwatman) menyala / bercahaya menerangi jiwa menjadi terang benderang.
***