Pupuh Sinom adalah sekar alit berisikan intisari dari wejangan yang menggambarkan rasa gembira (gumbira) atau rasa sayang (kadeudeuh) yang dilantunkan agar seseorang :
- Mudah bersikap sabar,
- Sejuk dan penuh welas asih.
Jenek ring meru sarira
Kastiti Hyang Maha suci
Mapuspa padma hredaya
Magenta swaraning sepi
Maganda ya tisnis budi
Mawija menget prakasaKukusing sad ripu dagdidupan ipunMadipa hidepe galang
Artinya :
Gunakan tubuh ini sebagai meru atau tempat suci,yang disadari oleh orang yang bathinnya sudah suci [bersih]Bunganya adalah bunga padma [simbolik advaitacitta, bathin yang bebas dari dualitas]Gentanya adalah keheningan bathinGandanya adalah kesabaran dan welas asih tanpa syaratLepananya adalah tingkah laku yang indah.Bijanya adalah bathin yang tegar-kokoh [sanggup menahan segala macam penderitaan dengan bathin damai].Dengan demikian seluruh sad ripu [enam kegelapan bathin] lenyapBathinnya laksana cahaya terang benderang
Maknanya yaitu meru atau tempat suci tidak hanya ada “diluar”, tapi “didalam” juga ada tempat suci. Kita dapat membadankan meru dalam diri.
- Dengan mengurangi penderitaan para mahluk. Artinya selalu penuh welas asih dan penuh kebaikan dengan tingkat kerelaan yang sempurna. Itu semua mengurangi penderitaan para mahluk.
- Termasuk tidak membalas caci-maki dan hinaan orang lain, tidak balas menyakiti orang yang jahat, dsb-nya.
- Malah sebaliknya kita memberi lebih, kita membalasnya dengan welas asih dan kebaikan.
- Semua mahluk memperebutkan kebahagiaan dan lari dari penderitaan, sehingga alam semesta ini tidak seimbang.
- Kitalah yang menjaga keseimbangan alam semesta dengan mengambil yang jelek-jelek [penghinaan, kesengsaraan, kesusahan, dsb-nya].
- Badan, pikiran dan perasaan kita akan menjadi meru [tempat suci] kalau selalu kita jadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.
Bagi sebagian orang yang tingkat kesucian bathinnya bagus akan mengerti, inilah bhakti yoga yang tertinggi dan sempurna yang diumpamakan seperti berikut :
Tidak hanya di pura ada mebakti, tapi kesabaran yang tidak terbatas juga adalah mebakti.
Tidak hanya di pura ada maturan, tapi kesejukan, kedamaian dan ketenangan bathin juga adalah maturan.
Tidak saja di pura ada upakara, tapi welas asih dan kebaikan tanpa syarat juga adalah upakara.
Tidak hanya di pura ada meru, tapi tubuhnya sendiri sudah menjadi meru [tempat suci], karena seluruh kehidupannya sudah menjadi bhakti yoga.
Inilah jalan “pulang” menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi.
Orang suci belum tentu berbaju putih-putih, berbaju yogi, pertapa, pandita, pemangku, guru spiritual, dsb-nya. Orang suci belum tentu orang yang sudah membaca banyak kitab suci.
Orang suci adalah orang yang penuh welas asih kepada semua, kebaikan-nya tanpa syarat dan kesabarannya tidak terbatas, walau apapun yang terjadi.
Orang suci yang sesungguhnya adalah orang yang sanggup mengolah apa saja menjadi dharma. Leluhur kita menyebutnya sarwa dharma [semuanya dharma].
Dapat mengolah adharma menjadi dharma. Dapat mengolah segala bentuk godaan menjadi jalan pembebasan. Dapat mengolah segala bentuk kesengsaraan dan ketidakadilan menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian.
Badan, pikiran dan perasaan-nya menyatu menjadi kesucian yang sempurna, karena selalu dijadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.
***