Motif Hias Ukir - Ukiran Pada Padmasana

Sudah menjadi kebiasan bagi masyarakat Hindu di Bali dalam membuat bangunan selalu diberi hiasan, ukir-ukiran atau ornamen, lebih-lebih pada tempat pemujaan seperti halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol bhuwana agung

Motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk - bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya.

Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang sudah diterapkan secara turun-tumurun oleh masyarakat dikenal dengan istilah motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping mengandung nilai-nilai estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis. 

Penerapan motif-motif hias tersebut selalu mengikuti bentuk dan struktur pepalihan yang terdapat pada bangunan padmasana. Kalau dilihat dari struktur penerapan motif hiasannya adalah sebagai berikut :
  • Dari bagian bawah atau bagian kaki bangunan padmasana yang disebut tepas, terdapat motif hias bhadawang nala (kura-kura) yang dililit oleh dua ekor naga yakni naga Anantabhoga dan Basuki. Kemudian di atasnya yakni pada setiap sudut terdapat motif hias karang gajah/asti, di tengah-tengah sejajar dengan motif hias Karang Gajah tersebut terdapat motif kekarangan seperti : Karang Bentulu dan Karang Daun. 
  • Di atas motif Karang Gajah / Karang Hasti yang menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, terdapat motif hias Karang Tapel, yang pada bagian bawahnya dikombinasikan dengan motif Karang Simbar, yang juga menghiasi bagian sudut bangunan. 
  • Di atas karang Tapel terdapat motif hias Karang Guak yang jugamenghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan atau motif-motif geometris seperti 
    • ganggong, 
    • ceracap, dan 
    • kakul-kakulan.
  • Pada bagian tengah atau badan bangunan padmasana yang disebut batur, yakni pada bagian belakang badan padmasana terdapat motif hias garuda membawa tirta amerta, kemudian di atasnya pada setiap sudut masing-masing terdapat motif hias Karang Guak, yang dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra punggel. 
  • Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan seperti emas-emasan, kakul-kakulan, ceracap dan batun timun
  • Pada bagian belakang di atas motif hias garuda terdapat motif hias angsa yang sedang mengepas-ngepaskan sayapnya.
  • Pada bagian atas bangunan padmasana yang disebut sari terdapat “singhasana”seperti kursi, yang pada bagian dinding samping dan belakangnya terdapat ulon. 
  • Pada ulon belakang singhasana terdapat motif Sang Hyang Acintya. Dilihat dari sikap tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan kita pada tari Sivanataraja dalam menciptakan alam semesta. 
    • Pada bagian belakang ulon terdapat motif patra punggel yang dikomposisikan menyerupai bentuk “gunungan” (kayonan). 
    • Ulon bagian samping kiri dan kanan dihiasi dengan motif hias Naga Taksaka bersayap yang dikombinasikan dengan patra punggel. Motif-motif hias seperti keketusan motif (geometris) dan pepatran, lebih banyak berfungsi sebagai elemen penghias untuk menambah keindahan dan keagungan dari bangunan padmasana itu sendiri, yang diterapkan pada bidang pepalihan, yang sudah disesuaikan. 
Penerapan motif-motif hias pada bangunan padmasana disamping mengadung nilai-nilai estetis, filosofis, juga mengandung nilai-nilai simbolis antara lain : 
  • Bhadawang nala, sebagai simbol gerak dinamis kehidupan di bumi, dijadikan dasar padmasana, wadah ataupun bade yang digunakan pada saat upacara ngaben.
  • Naga Anantabhoga sebagai simbol kemurahan akan sandang, pangan dan papan yang tidak akan habis-habisnya. 
  • Naga Basuki sebagai simbol kekuatan air yang menjadi sumber kehidupan mahkluk, atau sebagai lapisan yang menutupi kulit bumi ini. 
  • Garuda membawa tirta amerta sebagai pelaku utama dalam Adiparwa yang menggambarkan pencaharian tirta amerta (air kehidupan) antara dewa dan raksasa, dengan kemenangan difihak para dewa, sebagai simbol kebebasan melalui pelepasan terhadap ikatan duniawi.
  • Angsa yang sedang mengepas ngepaskan sayapnya sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi (Titib, 2001 : 108). Angsa juga disimbolkan sebagai Omkara, Brahman atau Atman, yakni sebagai simbol manusia yang ingin kembali kepada Sang Hyang Widhi, yang juga disebut amoring acintya.
  • Naga Taksaka bersayap berarti udara atau atmosfir yang mengambil tempat di angkasa (Cudamani, 1998 : 41).
***