Galungan

Perayaan Galungan :

Hari Raya Galungan adalah perayaan kemenangan dharma melawan adharma dimana secara filosofis, mulai hari dimaksudkan agar kita mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma (dharma = kebenaran) di dalam diri manusia itu sendiri. 
Karena sejatinya kebahagiaan bisa diraih tatkala kita memiliki kemampuan untuk dapat menguasai kebenaran.
Dilihat dari sisi upacaranya yaitu sebagai momen umat Hindu untuk mengingatkan baik secara spiritual maupun ritual agar selalu melawan adharma dan menegakkan dharma. 

Bisa disimpulkan bahwa :
Inti Galungan ialah menyatukan kekuatan rohani agar kita mendapat pendirian serta pikiran yang terang yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia.
Demikian dijelaskan dalam HINDUALUKTA berkaitan dengan sejarah hari raya Galungan yang berasal dari kepercayaan Hindu di Bali.

Galungan juga disebutkan berarti Dungulan yang dalam bahasa Jawa Kuna berarti menang bertarung yang sebagaimana menurut artikel lama Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam sejarah Hari Raya Galungan, karena itu :
di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Dalam lontar Purana Bali Dwipa, Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka. 
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah.
Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya, pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan.

Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.

Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti.

Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.

Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.

Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Para Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durga (Dewi Durgha), sakti dari Dewa Siwa.  

Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan, adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat

Galungan adalah merayakan menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).

Sugihan Jawa dan Bali, untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan.

Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.

Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri.

Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite (minggu) Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan.

Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Penyajan Galungan, jatuh pada hari Senin Pon Dungulan.

Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.

Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi."

Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan.

Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan.

Lawar Galungan, Yong Sagita dkk

Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban.

Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma.

Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Manis Galungan | Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Pemaridan Guru 

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur.

Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara Yadnya tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
***