Kliwon

Kliwon adalah sebuah persembahan yang menyiratkan kepada setiap orang untuk melihat apa yang ada di “tengah” sebagai jiwa dari alam ini. Seperti halnya ketika :
Dan pada saat hari Kliwon dalam dapur ilmu agama berkaitan dengan upacara dewa yadnya disebutkan merupakan hari payogan/samadhinya Bhatara Siwa. 
Umat Hindu pada hari ini dianjurkan untuk melaksanakan tapa, bertirta gocara bersuci diri, dan menyucikan pikiran.
Dalam wewaran, Kliwon merupakan bagian dari pasaran hari Panca Wara dimana :
  • Urip Wewarannya 5, dan
  • Panca Korsikanya di tengah.
Bagi tetua Bali atau Jawa Kuno, hal ini disebutkan sejalan dengan ajaran Sadulur Papat atau Nyame / Kanda Pat
  • Sadulur Papat yang dimaksud adalah empat saudara yang lahir bersama manusia. Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir akibat dibentuk oleh lima unsur material. 
Lima unsur material adalah tanah [unsur padat—berupa tulang], air [unsur cair berupa darah], api [unsur panas], udara [unsur udar—nafas] dan unsur ruang. 
Lima unsur itu masing-masing mempunyai lima tempat. Inilah kemudian yang disebut dengan Panca Maha Butha—Lima unsur material yang membentuk raga manusia dalam ajaran Hindu
  • Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, adalah tempat Jiwa, memancarkan sinar manca warna [bermacam-macam]. 
Disinilah berstana Siwa; 
Sebagai rumah sejati dari sedulur papat atau nyame pat.
Inilah kemudian mengapa begitu pentingnya apa yang ada di “tengah” atau di “dalam”—kata Kliwon menyiratkan kepada setiap orang untuk melihat apa yang ada di “tengah”, apa yang ada di “dalam”. Tentu di tengah atau di dalam yang dimaksud adalah di dalam diri kita. Bukan kita sebagai manusia saja, tapi “kita” bagi seluruh semesta raya. 
Oleh karenanya, dalam bahasa spiritual tetua Bali, pengertian Kajeng Kliwon sangat jelas meletakkan pesan bagi kehidupan, bahwa setiap kita “lapar”; masuklah ke dalam diri—masukkanlah pikiran kita ketempat suci yang bernama badan. 
Di dalam badan ada Siwa yang bersemayam—maka kita pun akan menemukan “sumber makanan abadi—yang tidak pernah ada habisnya—yang selalu menghidupi”. “Makanan” inilah yang akan memberikan “nutrisi” pada budhi sebelum ia diputuskan oleh pikiran untuk berkata-kata dan bertindak dalam kehidupan. 

Dan inilah kemudian satu spirit yang sama oleh Sang Mpu Kuturan dalam menamakan tempat suci di Bali; bagi Sang Maha Pencipta diberi nama Pura Bale Agung yang berarti Stana Utama, Sang Maha Pemelihara diberi nama Pura Puseh atau di tempat yang berada di Tengah [Puser] dan Sang Maha Pelebur bernama Pura Dalem atau tempat yang berada di dalam. 
Pesan ini semakin jelas walaupun kita menterjemahkan dengan bahasa yang sederhana saja, bahwa “Stana yang Utama” berada di “Tengah”, yaitu di “Dalam” diri seseorang. Bale Agung Pura Desa, Puseh dan Dalem memiliki makna yang sama, yang sama-sama menunjuk pada keberadaan Tuhan yang ada di dalam diri sebagai Siwa—Atman.
Kliwon yang juga sebagai Ruang itulah juga sifat Siwa yang tidak terbatas dan tidak terhingga. Karena tidak terhingganya, 
Ia mampu berada dalam setiap apa yang ada di semesta.
Karena itu Ia juga ada dalam manusia.
Ia adalah Siwa yang memancarkan dan menyerap semua. 
Tepatnya kita harus memahami ruang sebagai hal yang penting, seperti memahami pentingnya ruang dalam sebuah rumah. Tanpa ruang manusia dan semua benda tidak memiliki tempat. Tanpa air, angin, api dan tanah—ruang selalu ada. 
Dalam pengertian ini, Siwa adalah Wisnu, Brahma, Iswara dan Mahadewa.
Semua warna ada di dalam-Nya. Karena Ia adalah sumber warna itu. 
Kemudian spirit ini pun tertuang dalam berbagai lontar-lontar yang berbau spiritual di Bali, salah satunya adalah dalam lontar Tattwa Jnana 32, berikut.
"…alihakna talinga pangrengo,
kadi mangkana ta bhatara an hanerikang sarwa janma kabeh….
…. innardhana sinamadhi tka bhatara, an hana irikang mwang…"
"….alihkanlah telingamu untuk mendengar, seperti itulah Siwa ada pada semua orang,nyata atau tidak nyata ada-Nya, ada di seluruh alam semesta..., ….harap direnungkan dalam samadhi Bhatara akan hadir, yang ada dalam diri seseorang”.
Demikian ditambahkan dalam kutipan yehpelung, Kajeng Kliwon: Sebuah Refleksi Kedalam Diri untuk membuka kesadaran hidup dan menghilangkan ketakutan.
***