- Sulinggih sebagai pemimpin upacara,
- Sarati yaitu tukang banten yang membuat tetandingan banten sebagai penyedia upakara;
- Sang Yajamana, yaitu yang punya kerja atau hajatan.
Dan pada saat membuat reringgitan dalam belajar membuat upakara disebutkan hendaknya posisi duduk tidak boleh metajuh masuku tunggal karena merupakan sikap drati krama yang dapat menyebabkan kecuntakan;
Upacara yang Satvika tersebut sebagaimana disebutkan dalam upakara yadnya, alit-madya-ageng mempunyai unsur-unsur :
- Pengorbanan / persembahan yang tulus ikhlas,
- Bhakti kepada Hyang Widhi,
- Damai, tentram, bahagia,
Mengerti akan makna dan tujuan upacara yang diselenggarakan dengan mengacu pada lontar-lontar tentang upakara, misalnya :
- Yadnya Prakerti, widi sastra yang merupakan sabda Betari Uma.
- Purwa Gumi Kemulan, naskah-naskah yang berisikan mempersatukan dewa pitara (roh / atman leluhur yang sudah suci) kepada sumberNYA.
- Purwa Gama Sesana, berisikan tentang proses penyucian diri yang menurut petunjuk Sastra agama.
- Siwa Tattwa, berisikan tentang intisari kebenaran yang sejati kepada Tuhan.
- Sanghyang Aji Swamandala, menguraikan tentang penentuan hari baik dan buruk (padewasan) yang berhubungan dengan Pitra Yadnya.
- dan lain-lain.
Didalam lontar-lontar tersebut disebutkan bahwa :
- Jenis upakara agar disesuaikan dengan kemampuan nyata,
- yang diistilahkan sebagai Desa Kala Patra yang disesuaikan dengan situasi/keadaan tertentu.
Selain itu juga disebutkan dalam hal menyusun tetandingan banten atau rangkaian upakara tersebut perlu diperhatikan konsep hulu teben dan jangan sampai kelompok banten teben lebih besar dari pada kelompok banten hulu.
- Kelompok banten hulu yaitu upakara yang dihaturkan pada pelinggih (niyasa) Sanghyang Widhi atau Ista Dewata utama dll.
***
