Keabadian

Setiap orang meyakini bahwa kehidupan akan terus berlanjut secara abadi. 
Dari dimensi sekala di “mercapada” (dunia fana) berlanjut ke dimensi niskala di “sunialoka” (akhirat). Berlangsung silih berganti dalam irama karma.

Hidup merupakan anugerah dan merupakan peziarahan panjang menuju keabadian. 

Apa yang tabur di dunia akan menjadi buah keabadian. 

Menurut Hindu Dharma di Bali disebutkan bahwa, kembalinya sang atma dengan badan baru ke dunia disebut Numadi, Numitis, Mantuk Pewayangan, Reinkarnasi, Menjelma, atau Samsara.

“Samsara” sejatinya “Sangsara”, penjelmaan untuk menjalani penderitaan. Menjalani “karma wasana” dalam bingkai “suka duka lara pati”(senang, sedih, menderita dan mati).

Sehingga orang Bali senantiasa berusaha mengurangi penderitaan dengan memupuk kesadaran dalam diri mengenai hakekat dari penjelmaan, yakni senantiasa melakukan penyucian diri.

Seperti halnya dengan upacara penyucian dilakukan dengan menempatkan sastra, yantra, mantra, patra, (aksara, simbol, ucapan, gambar dan bentuk suci nan magis) dalam jiwa dan raga untuk membangkitkan spirit kesadaran dan kekuatan dalam diri. 
Menjadi “manusa pasupati” manusia terberkati untuk membangkitkan “taksun awak”, energi kepribadian.

Ritual sejak dalam kandungan (pagedong-gedongan), saat lahir, kepus pungsed (lepas udel), bulan pitung dina (satu bulan tujuh hari), telu bulan (tiga bulan) nyambutin, satu oton (enam bulan), menek kelih (akil balik), mesangih (potong gigi), nganten (perkawinan), -sebagian ada yang menjalani Ekajati dan Dwijati,- dan akhirnya kembali ke sunialoka dengan upacara ngaben, memukur / nyekah sampai nilapati. 
Hakekatnya adalah pembersihan dan memupuk kesadaran diri guna mengakhiri penderitaan menuju kemanunggalan dengan Paramatma.

Semua rangkaian kehidupan ini secara tattwa, susila, dan upacara (filosofi, etika, dan upacara), tersaji secara lengkap, apik dan unik di Samsara Living Museum. Lokasi di desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali.

Tempat yang sarat makna kehidupan. Natural, kultural, dan spiritual berpadu dengan teduhnya “Taru Pramana” memancarkan cahaya rasa membangkitkan kesadaran jiwa menuju “satyam siwam sundaram” kebenaran, kesucian, dan keindahan.

Suasana dibuat seolah-olah dibawa ke masa lalu yang belum tersentuh hiruk pikuk kekinian. Seperti halnya dikutip dari salah satu artikel samsara Hindu Dharma di fb; 
Menikmati keseharian manusia Bali dalam bingkai “tri hita karana” menuntun rasa menuju “lango” -ngelangenin- pesona jiwa.

Dan sebagai tambahan :

Merak dipandang sebagai burung keabadian, Merak (Mayura) adalah vahana (kendaraan) dari dewa keremajaan abadi, yaitu Karttikeya atau Skanda (Liebert 1976: 178).
  • Dll
***