Etika Makan

Makan tidak hanya diatur berdasarkan etika formal. 
Namun, dalam Hindu Dharma disebutkan ada aturan khusus tata cara makan yang mengacu berdasarkan sejumlah kitab suci.
 
Seperti apa aturannya?
Sikap makan dalam ajaran agama Hindu dapat ditemui dalam Kitab Manawa Dharma Sastra dan Lontar Tutur Lebur Gangsa seperti yang dikutip dalam salah satu artikel etika makan cara Hindu di fb.

Posisi ke arah mana kita makan pun juga mempunyai makna tersendiri, seperti dituangkan dalam Manawa Dharma Sastra II. 52.*
  • Seseorang yang menyantap makanan menghadap ke timur akan panjang umur.
  • Jika menghadap ke selatan akan menjadi terkenal.
  • Kalau seorang makan menghadap ke barat, maka akan makmur,
  • Jika menghadap ke utara, ia akan mendapat kebenaran.
Tata cara makan selanjutnya hendaknya dimulai dengan doa sebelum mulai makan.
Selanjutnya seorang harus melihat makanannya dengan rasa suka cita. "Jangan merasa muak bila makanan yang sedang kita hadapi tiada berkenan. Jangan pula mencela makanan yang dihidangkan, bilamana makanan tersebut bukan menjadi kesukaan.

Penghormatan makanan walau tidak disukai ini, termuat dalam *Manawa Dharma Sastra II.54 yang isinya :
Ia harus selalu menghormati makanan dan menyantapnya tanpa rasa muak, baik ketika ia melihat makanan itu hendaknya merasa bahagia dan menunjukkan rasa suka cita dan mendoakan akan selalu memerolehnya'.

"Usai menyantap makanan, maka seseorang disarankan untuk membersihkan tangannya. Lalu memercikkan air ke ubun-ubun (Siwa Dwara) dengan harapan nantinya beliau memberi waranugraha atas apa yang telah dimakan. 
Terakhir barulah ditutup kembali dengan doa, agar kelak selalu diberikan hal yang sama berupa makanan.

Sebagai manusia hendaknya tidak menyantap makanan secara berlebihan. Hal ini tertuang dalam Manawa Dharma Sastra II.56 yang menyebutkan:
Janganlah menyantap makanan yang ditinggalkan seseorang dan jangan makan diantara dua waktu makan, hendaknya jangan makan berlebihan atau pergi kemanapun sesaat dan setelah makan sebelum membersihkan mulut.

Pada Lontar Tutur Lebur Gangsa, disebutkan perilaku cara menikmati makanan (nasi) juga dibahas. Hal ini pun mungkin sering didengar seseorang dalam nasihat orang tua pada anaknya ketika sedang makan.

Pantangan
Dalam Lontar Tutur Lebur Gangsa ada beberapa istilah cara makan yang sebaiknya tidak dilakukan:
  1. Mulai dari Nyeret yang artinya sikap seseorang makan nasi sambil berjalan, sehingga kurang pantas dilakukan karena tidak elok dilihat orang lain.
  2. Makan sambil melakukan pekerjaan atau kegiatan lain yang disebut dengan Ngeleklek, tidak pantas dilakukan karena menjadi tidak fokus.
  3. Kemudian ada istilah Nugtih, yaitu ketika makan sambil duduk kaki membujur terlilit ke depan.
  4. Berikutnya ada Ngeloklok, yakni makan dengan cara berjongkok, yang memang secara etika kurang enak dilihat orang lain.
  5. Ada juga disebut Leler, yakni gaya makan dengan berdiri. Hal ini tentu sering juga didengar secara umum bahwa makan berdiri sebaiknya dihindari karena secara kesehatan tidak baik.
  6. Selanjutnya ada Mamantet, yakni sikap makan dengan berdiri sambil menghadap ke barat.
  7. Kemudian ada Nidik, hampir sama dengan Mamantet, makan berdiri bedanya dilakukan sambil menghadap ke selatan.
  8. Lebih lanjut lagi ada Ngamah. Ini adalah posisi makan sambil tiduran. Sebuah sikap yang tentu kurang sopan jika dilihat dan bisa juga menimbulkan asam lambung naik. Namun, tentu bagi orang yang sakit ini tidak menjadi larangan.
  9. Lalu ada Mlokpok, yakni posisi makan dengan cara seperti binatang langsung memakai mulut.
  10. Terakhir ada yang dinamai Nyilapin. Gaya makan ini dengan cara duduk, tetapi lutut diberdirikan (bukan bersila).
Semua etika maupun larangan makanan itu ada maksudnya. 
Seperti nasihat dilarang makan di depan pintu, karena nantinya menghalangi orang yang mau keluar masuk lewat pintu tersebut.

Tradisi leluhur Bali menyisihkan sedikit makanan di sisi piring sebelum makan, merupakan tradisi yang indah yang perlu diabadikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sebagai orang yang menghormati dan mengerti ajaran leluhur. 

Selain ingin melestarikannya demi kesejahteraan hidup lahir batin.
Terdapat pula tradisi tidak boleh berbicara jika sedang menghadapi makanan.

"Makanan dihormati sebagai amerta oleh leluhur dengan istilah nunas amerta.
Dalam Padma Puraṇa disebutkan bahwa orang hendaknya mencuci kelima anggota badannya terlebih dahulu sebelum makan. Dengan melakukan hal itu, orang akan bisa menikmati usia hidup yang panjang. Kelima anggota badan dimaksud adalah kedua kaki, kedua tangan, dan muka. Hal ini didukung pula oleh kitab Mahabharata, Santi Parwa 193.6, "Pañcardro bhojanaṁ bhunjyat"

Tidak dianjurkan juga makan di tempat gelap atau sambil tidur.

Leluhur menyebutkan makan dengan cara sangat indah yaitu Nunas Ajengan. 
Istilah Nunas Ajengan mempunyai pengertian bahwa kita tidak memiliki makan, tetapi memohon makanan dari pemiliknya, yaitu "Hyang Parama Iswhara".

Kesadaran seperti ini sangat indah untuk diajegkan di dalam hati, mengingat memang sebenar-benarnya kita ini tidak mempunya apa-apa di dunia ini.
Karena sejatinya telah diingatkan lahir ke dunia ini, tidak membawa apa-apa, selain hanya tangisan yang keras dan nanti juga akan meninggalkan dunia ini tanpa membawa apa-apa. 

"Kesadaran yang diwujudkan dalam istilah Nunas Ajengan ini sangatlah bermakna. Ia sangat pantas untuk diajegkan, mulai dari dalam keseharian diri sendiri dan kemudian ditularkan kepada anak cucu.
Paling tidak, ajeg tradisi leluhur sesederhana itu dapat dilakukan oleh semua. Tidak ada alasan tidak mematuhinya.

"Bagi diri sendiri, tata cara ini sangatlah mulia. Kita memohon makanan karena makanan tersebut sudah bukan makanan lagi.
Dalam ajaran Veda, orang memasak makanan bukanlah untuk diri sendiri, melainkan untuk persembahan kepada Tuhan. Makanan yang dimasak itu diyadnyakan kepada-Nya, dipersembahkan terlebih dahulu kepada-Nya. Oleh karena itu, makanan tersebut sudah bukan milik pemiliknya. Makanan yang dimasak dan dipersembahkan kepada Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa), tidak lagi berupa makanan, melainkan ia sudah berubah menjadi amerta (yajña-śiṣṭāmṛta bhujo),
Karunia Tuhan yang dinamakan lungsuran atau Prasadam. "Istilah ngejot, masaiban, dan yadnya seṣa merupakan tradisi indah mulia yang patut diajegkan.

Untuk memohon makanan atau Nunas Ajengan lungsuran Tuhan Yang Maha Esa itulah kita perlu mempersipakan diri dalam keadan suci bersih. Panca Angga kita harus dibersihkan dengan air terlebih dahulu.

Menurut para orang tua, ketika orang mencuci Panca Anga sebelum Nunas Ajengan, kebiasaan indah itu dapat memperpanjang usia seseorang. Lantas, Apa hubungannya antara mencuci Panca Anga itu sebelum makan?

Para saintis bisa menjelaskannya secara saintifik. 
  • Tangan yang bersih bebas dari kotoran akan memastikan makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak tercemar kotoran atau kuman penyakit.
  • Selain itu, ujung-ujung jari tangan mengandung titik saraf yang berhubungan dengan enzim yang berhubungan dengan pencernaan. 
  • Jari yang bersih menyebabkan saraf-saraf lebih peka merasakan tekstur dan suhu makanan. 
Informasi ini dikirim ke kelenjar untuk mempersiapkan jenis enzim yang diperlukan. Ini juga alasan mengapa makanan dengan jemari tangan lebih baik daripada dengan alat seperti sendok atau sumpit. 
"Kalau jari tangan bisa memegang makanan (suhunya tidak panas) artinya lidah juga bisa menerima, tidak akan melepuh. Pesan tersebut tidak bisa disampaikan oleh sendok, garpu atau sumpit".

Leluhur juga memberikan wanti-wanti tidak boleh mencela makanan. 
Karena, apa pun dan bagaimanapun makanan di hadapan kita, itulah karunia Tuhan. Mengingat makanan merupakan amerta penghidup.

Mereka yang hendak nyakan (memasak makanan), lanjutnya, hendaknya mandi terlebih dahulu agar badan dan pikiran menjadi lebih bersih serta damai. 
Karena badan dan pikiran yang suci bersih akan memudahkan mereka yang memasak makanan untuk memasukkan "Rasa kasih sayang" ke dalam makanan. Dengan demikian, setiap anggota keluarga yang memakan makanan tersebut pasti akan terbantu kesadarannya terjaga menjadi lebih bersih dan damai.

Demikian pula Bhgawadgita mengajarkan bahwa orang satwika yang memakan makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu sebagai persembahan suci, terbebaskan dari segala dosa. 
Sedangkan mereka yang memasak makanan untuk kenikmatan diri sendiri, sesungguhnya mereka hanya memakan dosa.

Ditambahkan dalam Manawa Dharma Sastra disebutkan, dengan mempersembahkan kepada Tuhan (pūjita) maka makanan itu memberikan tenaga (bala) dan kekuatan (ūrja). 
Tetapi, bila tidak dipersembahkan (apūjita) pastilah akan menghancurkan keduanya (tenaga dan kekuatan). 

Jika orang berhasil melaksanakan kebiasaan seperti etikan makan tersebut dalam keseharaiannya, maka disebutkan ia akan mendapatkan berkah dan juga hasil dari pelaksanaan puasa yang dilakukan..

Demikian disarikan etika makan tersebut berdasarkan kitab suci umat Hindu Dharma, Dumogi Rahayu Sareng Sami...
***