Siwa Dwara

Siwa Dwara adalah tempat siwa ketika kita melaksanakan Sembahyang dan meditasi yang sebagaimana disebutkan yaitu :
  • Sahasra Cakra yaitu tempatnya di ubun-ubun sebagai salah satu bagian dari sapta cakra yang sering disebut Siwastana.
  • Tahulan pada ruang tengah Sanggah Kemulan yang merupakan lambang Siwadwara sebagai pancaran dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Dan sebagai persembahan dalam arti dan fungsi upakara disebutkan bahwa :
Hendaknya bunga diletakan menyembul pada puncak cakupan tangan dengan ujung jari-jari tangan datar dengan ubun-ubun (Siwa dwara) dan ibu jari menyentuh kening. 
Karena disanalah BrahmanAtman bertahta ketika kita melakukan persembahyangan. 
Sehingga ketika kita akan melaksanakan sembahyang/menyembah Tuhan dalam “Saguna Brahman”dan “Guna Brahman”maka perlu disimbulkan dalam kenyataan alam semesta ini, dengan jalam memberikan warna yang tepat terhadap aspek dan kerja Beliau.

Layaknya sebuah jembatan atau kori puri atau pura, Siwa Dwara sebagai pintu ruhani manusia Bali dikatakan bahwa :
Kepala ditumbuhi rambut, dan rambut itulah yang menjadi semacam dwarapala bagi Siwadwara kita. 
Seperti halnya Sang Biksu mencukur gundul rambutnya, menjadi pertanda ia telah ‘memilih jalan’ untuk kembali membuka Siwadwara yang telah dilebati dan ditutupi hutan rambut. 
Sang Rsi mengikat rambut dan mapusungan, seakan menandai semua kelebatan dan hutan rambut ‘merujuk’ ke arah Siwadwara.
Dalam praktek Sama-Adi cara Bali, proses ngili-atma atau nuntun-atma ketika ngarga tirtha, kembali sang calon Pandita diajak ‘membuka kembali’ jalan itu. 
Merenungi ‘pipa gaib’ yang menjadi poros dan sekaligus pusaran diri. Tegak. Tunggal. Terhubung. Menelusuri hening diri dan titik terdalam di titik 0 kilometer ubun-ubun diri: Siwadwara.
Dalam praktek sederhana orang kebanyakan, jika mebayuh atau melukat, atau proses penyucian dengan air suci, yang dilukat adalah titik ubun-ubun itu juga. 
Titik itu kembali ‘dibasahi’ dan ‘diurap’ agar kembali lembek dan tidak ‘membatu’ alias tertutup rapat.
Jika kepala (ubun-ubun) membatu, merapat, atau tertutup, maka dipercaya tertutup pulalah hati dan jiwa serta ruhani kita. Tidak lagi terhubung dengan Jiwa Maha Tinggi itu, muasal kehidupan, Sangkan Paraning Dumadi. 
Ungkapan ‘berkepala batu’ yang mengandung arti keras tak mau mendengar, jika dihubungkan dengan Siwadwara, ia ‘tak mendengar yang batiniah’.
Perkara ubun-ubun sebagai titik tertinggi tubuh secara spiritual inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa orang Bali harus menjaga kepalanya: Tidak boleh sembarangan mesulub atau tidak boleh kena langkahan orang, atau lewat jemuran atau segala yang dianggap leteh (impure) alias kotor secara niskala. 
Semacam ‘amanat’ bagi orang Bali menjaga kesucian kepala, bahwa ada ‘jalan Siwa’ atau Siwadwara di pabahan (ubun-ubun) kita.

***