Wayang

Wayang adalah seni pertunjukan dalam berbagai ragam hias seperti seni lukis, patung dan pada ragam hias yang keberadaannya di Bali telah ada sejak tahun 1071 masehi. 

Dan kesenian ini memiliki beberapa fungsi seperti halnya disebutkan :
  • Pada seni lukis wayang berfungsi untuk menghiasi ‘parba’ (atau umbul-umbul) dan ‘pengider-ider’ pada bangunan pura. 
  • Pada bentuk seni patung lebih banyak untuk menghiasi bangunan pura-pura sesuai arah mata angin atau simbol dewata nawasanga. 
  • Figur wayang klasik juga dipahatkan pada tembok pura berpadu dengan pola ragam hias tradisional Bali dengan tema yang tak asing yaitu Epos Mahabharata dan Ramayana.
Dalam menelusuri jejak rupa wayang Bali, disebutkan kesenian wayang ini telah ada sejak zaman kerajaan Anak Wungsu.

Semua   jenis   wayang   yang   didasarkan lakon tersebut di Bali memiliki tiga fungsi utama   yaitu :  
  • Sebagai   sarana   upacara (wali),  
  • Seni  pertunjukan  artistik  (bebali), 
  • dan hiburan (balih-balihan).    
Karena bertujuan sebagai hiburan maka di dalamnya dimunculkan  tokoh-tokoh jenaka seperti panakawan yang bertujuan sebagai penarik perhatian dan menghibur  sehingga  fungsi  pertunjukan wayang  sebagai  dakwah  tercapai.
***

Dan adapun beberapa pengertian dalam pertunjukan wayang yang di Bali sebagaimana disebutkan :

  • Tumpek Wayang sebagai peringatan yang bertujuan untuk bersyukur kepada Hyang Iswara atas ciptaanya berupa kesenian.
  • Kayon sebagai simbolik gunungan yang mengingatkan kita pada tari Sivanataraja dalam menciptakan alam semesta.
  • Wayang Sapuh Leger bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
  • Dalang, sebagai profesi dalam hal seni pewayangan untuk dapat memotivasi umat.
  • Punakawan, sebagai pengemban unsur kritik dan simbolisasi situasi sosial politik di Indonesia seperti pada cerita kartun editorial Sangut Delem.
  • Pertunjukan wayang lemah diadakan saat upacara dewa yadnya yang mengambil lakon bersifat filsafat seperti cerita Dewa Ruci dll
Makna Simbolik dari Pertunjukan Wayang Kulit di Bali sebagaimana dikutip dalam salah satu artikel Sutrawidanta dalam Hindu di fb dikatakan :

“Wayang bukan saja sekedar hiburan, tetapi juga merupakan karya seni yang mengandung filsafat yang dalam seperti yang diungkapkan oleh Mangkunogoro VII sebagai berikut : 
Bahwa peperangan antara ksatria putih (berdarah putih) dengan raksasa dari berbagai macam warna, pada hakikatnya bukan merupakan peperangan antara mahluk-mahluk dengan segala keaktlannya, tetapi merupakan peperangan di dalam bathin (hati) manusia itu sendiri, antara perasaan yang baik atau suci dengan yang bururk, yang selalu mengganggu kesadaran manusia, Suatu peperangan yang merupakan dinamika dari kehidupan manusia yang menimbulkan keindahan yang luar biasa (1957 :11).

Arti dan pengertian lain menurut “Dharma Pawayangan” yang dikutip dari lakon “Sapuleger” oleh I Gede Soerya tahun 1941 dan dikumpulkan oleh Gedong Kertiya Singaraja.
Adapun perlengkapan pertunjukan wayang kulit itu memiliki makana simbolik sebagai berikut :
  • Gedebong (pohon pisang) sebagai simbol “Siti.Pertiwi (tanah)
  • Kelir (layar) sebagai simbol kekosongan (sunya = sunyi)
  • Blencong (lampu sumbu) sebagai simbol Dewa Surya/matahari (bhuwana agung) atau alam semesta, Jiwatma (roh) manusia atau bhuwana alit. selain itu Api blencong sebagai simbol dewa Agni.
  • Sanan Kropak yang diikat di atas kelir sebagai simbol langit
  • Kropak Wayang sebagai simbol alam semesta atau Bhuwana Agung
  • Lelujuh sebagai simbol tulang
  • Racik sebagai simbol jeriji
  • Sarwa Tali sebagai simbol otot/urat
  • Gender sebagai simbol irama pancapagendha zaman (Bhuwana Agung) suara sukma pada manusia (Bhuwana Alit) dimana empat juru gender sebagai simbol saudara empat (catur sanak) yakni :
    • Anggapati - Yeh nyom (air ketuban) ada pada nafsu
    • Mrajapati - Darah merah sebagai penunggu perapatan/kuburan
    • Banaspati -ari-ari ada di hutan, sungai, batu besar
    • Banaspati Raja ~ Klamad (lapisan kulit bayi yang tipis ada pada pohon yang besar. Itulah yang disebut saudara empat atau kanda pat sebagai benteng diri pada si Dalang itu sendiri
  • Dua orang Ketengkong sebagai simbol akasa (bapak) dan bumi (ibu).
Makna Filsafat Kiwa-Tengen dalam Wayang Bali

Kita mengetahui bahwa wayang-Wayang dalam pertunjukannya dikeluarkan ke kelir sebagai pelaku cerita dipancangkan bertimpi-timpi di kanan-kiri kelir. 
  • Yang dipancangkan di sebelah kiri adalah golongan Kurawa dan Raksasa dan 
  • Yang dipancangkan di sebelah kanan adalah golongan Pandawa, Dwarawati, Pancala dari Dewa-dewa. 
Secara filosofis dalam kebudayaan Bali dikenal dengan istilah “pengiwa-penengen” atau kiri-kanan, atau dharma-adharma, dewa-asura dan sebagainya. 
  • Yang kanan termasuk ‘penengen” (tengen=kanan) memiliki semangat, karakter kebathinan putih (white magic) menaruh sifat-sifat dharma (kebenaran) percaya pada Tuhan, berperikemanusiaan, setia, jujur dan adil serta pelindung kebenaran
  • Sedangkan yang kiri termasuk ‘'pengiwa” (kiwa = kiri), mempunyai semangat, karakter atau spirit kawicesan hitam (black magic), bersifat adharma (jelek), atheis, kejam, bengis, pemarah, pengacau kadilan dan kebenaran. 
  • Sedangkan yang keluar dari atas kanan adalah sebagai penengah, seimbang tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung ke kiri (Sugriwa, 1971 :224).
Dua kekuatan hitam-putih (black and white magic) yang secara umum disebut dengan “rwa-bhineda” yaitu dua sifat yang berbeda yang selalu kontradiksi tetapi tidak pernah akan hilang salah satunya dan menjadi satu dalam kehidupan manusiai Ada laki-perempuan, siang-malam, baik-buruk dan sebagaianya. ‘
***