Pancapagendha

Pancapagendha (atau Panca Pagendha) adalah lima unsur seni sebagai persembahan sadhana bhakti yang merupakan pengejawantahan konsep ajaran Hindu Dharma dalam filsafat, tattwa dan nyasa dalam melaksanakan upacara yadnya sebagai persembahan suci.
Atau dengan kata lain konsep ajaran sastra-sastra agama itu, mulai dari sruti, smrthi, dharmasastra, terutama dalam ajaran Upaweda, (Ithiasa, Purana, dan Nibandha), diwujud nyatakan, dipersonifikasikan dalam wujud pascapagendha itu, sehingga lebih mudah untuk dilihat, dimengerti bagi masyarakat pada umumnya, dalam penghayatan ajaran agama yang immanent, yang merupakan awal untuk mencapai tujuan agama yang transedental
Atau dengan kata lain, pelaksanaan hidup dan kehidupan keagamaan secara sekala, merupakan jalan awal untuk mencapai tujuan agama niskala.

Kelima unsur seni dalam konsep Pancapagendha, yang dipersembahkan sebagai sadhana bhakti adalah sebagai berikut:
  1. Seni Sastra, berbentuk Ithiasa, Wiracarita, Purana (Manapurana dan upapurana) pada dasarnya adalah penjabaran Sang Hyang Catur Weda Jangkep, (Samaweda, Regweda, Yayurweda, dan Atharwaweda). 
    • Di Bali ditulis dalam riptaprasasti (lontar-lontar Tattwa, Tutur, Wariga, Babad, Gaguritan, Kidung, Kakawin, termasuk lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Bebantenan
    • yang pada umumnya adalah merupakan sumber petunjuk dan tuntunan keempat unsur pancapagendha lainnya.
  2. Seni Vokal, berbentuk Gaguritan, Kidung, Kakawin, Palawakya, sampai yang merupakan chanda (Guru Lagu), rapalan mantra, stuti, stava Ida Padanda saat mapuja, mulai dari saat Nyuryasewana, sampai muput karya/ yajna tertentu. Termasuk juga rapalan saat para Pamangku saat nganteb, adalah tergolong chanda, seni vocal.
  3. Seni Instrumen, Berbagai perangkat Panca Nada seperti gamelan, seperti gong, angklung, saron, smara pagulingan, gambang, gender wayang, salonding, dendengkuk, gong beri, dan lain sebagainya.
  4. Seni Gerak, Berbagai sasolahan atau gamelan & tari, mulai dari tari Wali, Tari Babali, dan Tari Balih-balihan. 
    • Tari Wali dan Tari Babali adalah tergolong tari sakral. Tari Wali merupakan bagian dari pelaksanaan upacara seperti berbagai jenis tari Rejang yang telah dikemukakan, tari Pendet, pada saat ngaturan prani, berbagai tari Baris (kecuali Baris Provan), 
    • Sedangkan tari Babali adalah sebagai penunjang upacara, seperti Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, Mabhisama, atau Kincang-kincung. Sedangkan tari Balih-balihan adalah pagelaran tari yang semata-mata bersifat hiburan, seperti Topeng Prembon, Arja, Wayang, Joged Bumbung, Drama Gong, dan sebagainya.
  5. Seni Rupa, hasil karya seni lukis (Chitralekha), berbagai rerajahan dan sasuratan, seperti telah dikemukakan. Termasuk seni pahat dan seni bangun. 
Gabungan antara seni lukis, seni pahat, dan seni bangun dalam wujud banten, disebut seni kriya, seperti Sarad dan Kokudian Wadah. 
Sasuratan dalam tatacara agama masyarakat umat Hindu di Bali, memiliki konotasi yang hanya digunakan dalam upacara pancayajna
Sedangkan rerajahan memiliki konotasi yang hanya digunakan data lontar-lontar pregolan, seperti 
Sasuwuk, tataneman, babuntilan, pangimpas-pangimpas, dan sahanan pangraksa. Tetapi adakalanya disamakan di masyarakat yang disebut seni Kaligrafi. 
Contoh sasuratan adalah berbagai sasuratan tunggul pengawin (kober caru sampai tawur, seperti yang telah dikemukakan), sedangkan untuk rerajahan pregolan luar biasa banyaknya.
***