Gugon Tuwon

Gugon Tuwon adalah “prinsip untuk percaya terhadap yang patut dipercaya”dan mempercayai kepada yang tuhu sebagaimana yang tertuang dalam makna Pupuh Ginanti.
Saking tuhu manah guru.
Seperti halnya dalam membuat uparengga sebagai sarana dan prasarana sebagai pelengkap suatu upakara dimana melalaui upa = perantara dikatakan bahwa :
Apabila Acara (upacara dan praktek keagamaan) tanpa didasari oleh Tattwa (ajaran pokok keagamaan, filsafat dan teologi) maka akan menjadi gugon tuwon di masyarakat. 
Namun bagi mereka yang mempelajari Tattwa tetapi tidak dipraktekkan kedalam Susila dan Acara maka dia akan menjadi pembohong dan penipu bagi dirinya sendiri.
Sebagai generasi muda Hindu, Gugon tuwon (dalam kutipan suardeyasa) dikatakan adalah 
dua kata yang dirangkai menjadi sebuah kata yang sulit dipahami maknanya, kadang ada yang memberikan arti berasal dari kata “gugu” dan “tuhu”, dalam bahasa Bali gugu=dapat dipercaya dan tuhu=tahu, pandai, bijaksana. 
Makna kata itu kira-kira “percaya pada kebenaran (yang tahu)”.
Maka dalam sebuah episode cerita panca tantra yakni berjudul “Gugon Tuwon” memperlihatkan seorang anak-anak yang percaya kepada kata-kata sang yogin meskipun itu sebenarnya “dibohongi”, karena kesombongannya “pura-pura tahu tentang kebenaran”, menganggap anak-anak tidak dapat berbuat dan menemukan pembebasan.
Sang yogin yang setiap hari selalu melakukan japa dan memuja nama suci Tuhan, setiap hari membersihkan diri untuk memuja Tuhan, berbeda dengan si Tuwon yang setiap harinya hanya mengembala sapi, selalu kotor karena harus memandikan sapinya akan tetapi dengan ketulusan hati, melaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Pada suatu ketika I Tuwon mengikuti yang dilakukan oleh sang yogin tanpa banyak bertanya apa maksudnya?, mengapa demikian?, untuk apa demikian? “pokoknya dilakukan sajalah dengan keyakinan akan menemukan Tuhan”, dengan keyakinan yang dimilikinya I Tuwon melakukan meditasi hingga larut dalam alam Siwa, dan datanglah Ida Bathara dalam wujudnya yang sempurna.

Dengan penuh kegirangan I Tuwon membuka matanya dan bertanya kepada Ida Bathara, mau kiranya untuk diikat dengan tali sapi ini untuk kemudian menunjukkannya kepada sang yogin bahwa I Tuwon berhasil melihat Ida Bathara. Sang yogin yang tidak mencapai pembebasannya, tidak dapat melihat kebenaran itu ada disekitarnya.

Demikianlah cerita singkat Gugon Tuwon yang dapat kiranya melandasi apa maksud dari permasalahan Gugon Tuwon pada era sekarang ini. 

Berdasarkan hal itu, Gugon Tuwon bermakna sebagai Sraddha (Teguh pada Keyakinan Agama) dikatakan bahwa :
Pemaknaan Gugon Tuwon dewasa ini cenderung terkait dengan beberapa aspek yakni, sraddha, tanggung jawab, tekun, pembebasan (jagadhita), ajeg Bali. Pada aspek sraddha jelas sekali bahwa, di era multikultur sekarang ini dituntut generasi muda yang tebal keyakinannya.
Dasarnya jika seseorang tidak memiliki keyakinan (mudah terombang-ambingkan) apalagi pada era globalisasi sekarang ini, akan mudah tergerus pindah agama
Bagaimana mungkin melakukan suatu aktivitas yang tanpa keyakinan, sebagai contoh, “melakukan mesaiban setiap hari, jika tidak atas dasar keyakinan akan adanya Tuhan di mana”.
Demikian juga dalam aktivitas keberagamaan “melakukan ngayah di banjar adat, jika tidak atas dasar keyakinan untuk membangun Hindu, kerja tanpa pamerih itu tidak akan berjalan sesuai dengan ajaran agama”, dengan demikian dasar keyakinan agama itu penting adanya, baik dalam aktivitas kerja (ekonomi-bisnis) maupun etos menuntut ilmu.
Sraddha dalam Hindu bukan disebutkan terdapat ada lima (panca sraddha) itu merupakan rumusan yang mutlak bagi Hindu, yakni Brahman, atman, karma phala, punarbhawa, dan moksa. Pertanyaannya saya dan semuanya adalah “mengapa percaya kepada yang tidak terlihat”.
पुस्तक Suci Sarasamuchaya sloka 111 menjawab :
“yadyapin sangcaya ketang wwang ri hananing paraloka, mwang phalaning cubhacubhakarma, tathapin mangkana, aryakena jug ikang acubhakarma, ling sang hyang agama”.
“Biarpun sangsi kiranya orang akan adanya dunia lain (akhirat), dan akan adanya hasil perbuatan baik maupun buruk, kendatipun demikian, hendaklah ditinggalkan saja perbuatan buruk itu demikian tersebut dalam ajaran agama” (Kadjeng, 2006:60).
Jadi jelaskan bahwa meskipun tidak yakin adanya hal yang bersifat abstrak, tapi berbuat baik dan benar itu mutlak, inilah inti dari keyakinan itu. 
Aplikasinya, setiap jiwa adalah Tuhan, sehingga sifat-sifat Tuhan harus dihargai pada diri manusia, sifat-sifat Tuhan tidak saja ada pada diri orang tua akan tetapi pada guru, teman diskusi, dan anak-anak sekalipun dapat dijadikan pelajaran.
Ini dapat diwujudkan dalam kisah Mahabarata, bagaimana Bambang Ekalawya karena kayakinannya akan kebenaran, menggunakan patung Drona (sang guru) untuk belajar sendiri tentang pengetahuan “memanah”, hingga dapat menyaingi Arjuna dan Karna
Jelas sekali Bambang Ekalawya penuh dengan keyakinan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan kebenaran tersebut.
***