Kalau bisnis dipisahkan dengan pengamalan agama maka bisnis itu juga akan menjadi garang karena hanya mengejar keuntungan saja bahkan sampai dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu hendaknya dikembangkan suatu paradigma bahwa berbisnis itu sebagai media beragama. Karena lewat bisnis kita bisa menolong banyak orang.
Menolong sesama itu diajarkan oleh semua agama. Lewat bisnis yang benar kita dapat menolong orang lain lebih nyata. Pertolongan itu adalah pertolongan yang terhormat. Bukan seperti memberikan uang recehan seorang pengemis di jalanan.
Apa lagi sekarang orang akan lebih menghargai perbuatan nyata dari sekadar memberikan nasihat. Lewat bisnis kita dapat menampung berbagai bahan baku dari masyarakat.
Dengan demikian, bisnis itu sebagai media membuka pasar untuk menyalurkan produk masyarakat. Bisnis yang benar dapat memberikan lapangan kerja kepada banyak pihak. Seperti petani, peternak, pelaut, perajin, penambang.
Demikian juga bisnis dapat menampung orang-orang yang memiliki keterampilan dan keahlian. Apa lagi kalau bisnis itu menggunakan uang bank sebagai penguat modalnya.
Ini artinya kita juga menggunakan uang rakyat yang nabung di bank bersangkutan. Bisnis yang menggunakan uang bank juga banyak dapat menolong orang lain. Masyarakat yang menabungkan uangnya di bank tersebut mendapatkan bunga. Bank yang mengelola simpanan masyarakat juga mendapatkan untung.
Dari keuntungan tersebut bank dapat menampung tenaga kerja yang juga berasal dari masyarakat. Kalau kita betul-betul melakukan bisnis yang baik dan benar hal itu sesungguhnya media untuk melakukan ajaran agama.
Agama mengajarkan agar tiap orang saling memperlakukan sesamanya dengan penuh kasih sayang. Lewat bisnis itu dapat berinteraksi sesama manusia untuk mengembangkan kasih sayang saling melayani kehidupan bersama. Bisnis itu akan langgeng apa bila dalam berbisnis itu tidak saling menghancurkan. Bisnis itu justru harus diupayakan untuk saling memelihara dengan sistem sinergi. Bisnis juga harus saling mempercayai dan memelihara kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya.
Kalau konsep dan etika bisnis itu benar-benar dijalankan maka bisnis itu sesungguhnya wadah pengabdian pada sesama yang lebih nyata. Lewat bisnis yang benar itulah perputaran saling mengabdi dapat dilakukan. Hidup untuk saling mengabdi adalah hal yang diajarkan oleh agama mana pun.
Lewat bisnis yang normative dapat menguatkan daya beli rakyat. Dengan makin kuatnya daya beli rakyat perputaran ekonomi pun akan makin sehat, sepanjang hal itu dijaga dengan norma-norma etika ekonomi yang berlaku.
Jadinya hakikat bisnis itu sesungguhnya memberikan banyak peluang untuk mengamalkan berbagai ajaran agama. Karena bisnis dipisahkan bahkan dibuat berdikotomi dengan agama maka seringlah terjadi malapetaka dalam kehidupan berbisnis.
Citra bisnis pun menjadi tercoreng. Saling percaya mempercayai pun menjadi makin rapuh dalam kehidupan bisnis. Kalau bisnis itu diyakini sebagai media untuk mengamalkan agama, maka pebisnis itu tidak akan merasa bahwa bisnis itu miliknya.
Karena usaha bisnis itu adalah titipan Tuhan yang harus dirawat sebagai media memberikan pekerjaan dan kesejahteraan kepada sesama umat yang memiliki akses dalam usaha bisnis tersebut.
Apakah itu pemodalnya, manajemennya, karyawanya tidak akan merasa bahwa usaha bisnis itu miliknya. Itu adalah milik Tuhan yang harus dirawat bersama-sama untuk mengembangkan kesejahteraan sampai anak cucu kita seterusnya.
Demikian dijelaskan oleh PHDI dalam beragam cara untuk menjadi saudagar sehingga setiap manusia hendaknya dapat membangun kerja sama yang saling menguntungkan.