Distorsi Ajaran Hindu yang dapat melemahkan keyakinan beragama dan pondasi-pondasi yang tertuang dalam kerangka dasar beragama hendaknya juga perlu dinetralisir.
Guna kepentingan tertentu yang mungkin saja bersifat metraya, seperti halnya dilakukan oleh para indologis dan para misionaris ketika pada zaman dahulu yang telah melakukan modifikasi & penterjemahan kitab suci Veda yang secara tidak tepat dilakukan, juga akan berpeluang mengakibatkan penghancuran terstruktur dalam ajaran agama itu sendiri..
Mengingat kembali dalam perjalanan dharma pada ruang dan waktu, maka jika saja Hinduisme tidak dikontrol dengan cermat oleh Satya Dharma, tidak mustahil juga pengaruh ruang dan waktu dapat bersifat sebagai abu dan asap yang bisa memudarkan api spiritual Hinduisme itu sendiri.
Sejatinya abu dan asap yang menutup api spiritual itu bisa saja berupa kepentingan ego pada setiap orang yang berkuasa pada saat itu, karena mereka sendiri sudah diperbudak oleh ego, sehingga mereka diliputi kegelapan awidya, tidak dapat melihat lagi kebenaran abadi.
Pada dasarnya setiap agama mengajarkan kebenaran, namun dalam sejarahnya bisa saja digunakan sebagai pencitraan politik untuk kepentingan tertentu.
Banyak tempat suci Hindu (candi) di Nusantara dijadikan kuburan, padahal sebenarnya merupakan simbol perwujudan Candika dari Dewi Durga yang bersifat suci dan dibangun setelah proses upacara Sradha berdasarkan keyakinan, keimanan, ketakwaan.
Penterjemahan kitab suci Veda secara tidak tepat yang dilakukan oleh para Indologis yang bahkan diterjemahkan secara keliru yang dituliskan dalam kata pengantar beberapa kitab suci agama tertentu oleh para kaum misionaris dan para pendakwah.
Pencitraan seorang tokoh politik juga tidak lepas dari “iklan”. Meskipun seorang tokoh tidak memiliki kualifikasi memadai dan memiliki background yang buruk, tetapi jika media mendukungnya dan mencitrakannya sebagai sosok yang superior, maka rakyat akan percaya bahwa dia adalah tokoh politik yang diidam-idamkan rakyat banyak.
Celakanya, Agama juga diperlakukan sebagaimana halnya produk dan tokoh. Masyarakat dunia berkoar-koar bahwa agama adalah hak azasi manusia yang tidak dapat diinterferensi orang lain, bahkan orang tua dan pasangannya sendiri.
Namun dibalik itu semua, kadangkala penguasa media masa dan didukung oleh pemerintah secara tersembunyi dan terstruktur ternyata sudah menyiapkan “politik pencitraan” untuk kepentingan agama tertentu dan melakukan pendeskriditan terhadap agama-agama dan kepercayaan yang lainnya.
Seperti adanya media elektronik berkembang pesat, tidaklah sulit untuk menemukan film atau sinetron yang mengambarkan dimana tokoh-tokoh yang bersorban, menggunakan tasbih., berpakaian budaya lain dan sejenisnya digambarkan sebagai tokoh protagonis (tokoh yang baik) dan mereka yang menggunakan pakaian / busana adat nusantara, menyelipkan keris di pinggangnya, menggunakan sarana menyan/dupa/hio, air dan bunga dalam sembahyang/ritualnya digambarkan sebagai tokoh antagonis (tokoh jahat).
Hampir tidak ada satupun sinetron yang melibatkan dua tokoh berbeda tersebut meletakkan tokoh yang menggunakan pakaian adat dengan keris dan sarana ritual tradisional nusantara sebagai tokoh protagonis dan meletakkan mereka yang melakukan distorsi ajaran Hindu sebagai tokoh antagonis.
***
Dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 35-40 juga dikatakan bahwa :
Karena agama yang bingung akan membenarkan yang tidak benar.
Namun kebenaran kelompok dianggapnya kebenaran untuk semua, hingga akhirnya menyalahkan yang sesungguhnya benar (kebenaran hakiki yang dapat diterima diberbagai kalangan).
Demikianlah juga perlu diluruskan, mungkin melalui pemahaman lebih mendalam tentang nilai-nilai dharma dalam kehidupan ini seperti halnya melalui kegiatan sad dharma yang dilakukan oleh para sulinggih agar umat mendapatkan pencerahan dan memahami kebenaran sejati dalam hal kerohanian.
***