Tiang Saka Bali

Tiang Saka Bali adalah tiang-tiang penyangga dalam tradisional Bali yang bermakna sebagai stabilitas yang konstruksinya banyak disebutkan dalam Lontar Asta Patah yang terkait dengan ukuran dan jarak tiang bangunan sebagai salah satu lontar tentang arsitektur Bali sebagai representasi peradaban kehidupan.

Untuk menentukan tinggi tiang saka dalam struktur dan konstruksi Arsitektur Bali, academia.edu juga menjelaskan bahwa :
ukurannya tidak sembarangan untuk dapat dihitung karena tinggi tiang pada rumah-rumah adat Bali harus disesuaikan dengan ukuran pengurip pemilik rumah ditambah dengan 24rai.
Rumus urip satu tiang saka bangunan : 

=> (1/2 Depa + Sedema + Akilan + Limang Nyari)/9 yang bermakna sakral.

Sedangkan ukuran-ukuran tinggi tiang tedung dan tombak :
  • Tiang Tedung, lebih-kurang 2 x 2.5 (dua setengah) kali leber lingkaran atap atau mendekati tiga kali dari lebar lingkaran.
  • ukuran tiang tombak yang terjemahan bebasnya disebutkan : Kalau ukuran tangkai tombak, sampai besinya (tombak) panjangnya sesuaikan dengan yang menggunakannya seperti halnya : 
    • Dua depa, mahurip lima lengkat, tiga guli, namanya singa tiga, pembawaan mantri agung dan mantri untuk kemenangan dharma
    • dll

Dalam Tipologi bangunan tradisional Bali juga disebutkan umumnya disesuaikan dengan jumlah penggunaan tiang seperti :
  • Sakapat, bangunan dengan empat tiang saka. 
    • Satu bale-bale mengikat tiang. Atap dengan konstriiksi kqmpiah atau limasan. 
    • Variasi dapat ditambahkan dengan satu tiang parba dan satu atau dua tiang pandak.
  • Sakanem, konstruksi bangunan terdiri atas 6 tiang saka berjajar tiga-tiga pada ke dua sisi panjang. 
    • Keenam tiang disatukan oleh satu bale-bale atau empat tiang pada satu bale-bale, dan dua tiang di teben pada satu bale-bale dengan dua saka pandak. 
      • Hubungan bale-bale dengan konstruksi perangkai sunduk waton, Hkah, dan galar. 
    • Dalam variasinya, sakanem dengan satu bale-bale yang hanya mengikat empat tiang dan dua tiang di teben sehingga memakai canggahwang karena tidak ada sunduk pengikat.
  • Sakatus, sebagai bangunan madia dengan fungsi tunggal sebagai tempat tidur yang disebut Bale Meten. 
    • Letaknya di bagian Kaja menghadap Kelod ke natah berhadapan dengan Sumanggen. Dalam proses membangun rumah, 
    • sakatus merupakan bangunan awal yang disebut paturon. 
      • Jaraknya delapan tapak kaki dengan mengurip angandang, 
      • diukur dari tembok penyengker pekarangan sisi Kaja. 
    • Selanjutnya bangunan-bangunan lainnya ditentukan letaknya dengan jarak-jarak yang diukur dari Bale sakatus.
  • Sakaroras, bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah dengan pembagian empat-empat sebanyak tiga deret (hulu teben) dari luan ke teben
    • Dua bale-bale masing-masing mengikat empat tiang dengan sunduk, waton, dan likah sebagai stabilitas ikatan. 
    • Empat tiang sederet di teben dengan canggahwang sebagai stabilitas konstruksinya.
    • Dari bangunan bertiang dua belas ini kemudian dikembangkan dengan emper ke depan, dan ke samping dan beberapa variasi masing-masing dengan penambahan tiang jajar.
Peranan undagi Bali sangatlah penting disebutkan sebagaimana dijelaskan asta kosala - kosali dalam Babad Bali dari tahap atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.
  • Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). 
    • Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing.
  • Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.
  • Dengan pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan sebagai ritus-ritus 
    • yang diyakini untuk penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung.
***