Tedung

Tedung adalah berbentuk seperti payung sebagai salah satu jenis perangkat upacara yadnya keagamaan yang khususnya digunakan di Bali memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. 
Bentuk atau form dalam dunia seni rupa harus dilihat secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan yang utuh. 
Kesatuan bentuk tersebut dapat terbentuk lewat teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran maupun komposisi yang tersusun sesuai dengan bentuk, tinggi dan lebar ukuran tedung yang ada maupun dibuat para perajin/undagi dibeberapa pura tempat/daerah yang masih bervariasi, baik tedung agung maupun tedung robrob. 

Untuk dipahami, pengertian atau penyebutan istilah tedung agung dan robrob dibedakan atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi penggir tukub/atap tedung dengan posisi berjuntai. 
  • Tedung Robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau. 
  • Tedung Agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada yang lazim disebut dengan ider-ider. 
Kain yang berjuntai tersebut terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari pada yang dibagian bawah/tengahnya.

Secara visual, posisi lingkaran pinggiran yang dibentuk oleh ruas iga-iga dari lima bentuk tedung ini, mempunyai lengkungan bentuk yang berbeda sebagai contoh :
  • Jenis tedung robrob yang ada di pura Besakih, memiliki bentuk melingkar yang datar, 
  • Jenis tedung robrob yang ada di pura Pasekan payangan yang merupakan buatan perajin dari bangli mempunyai lingkaran bentuk yang “ngampid lawah” (sayap kelelawar) tidak terlalu melengkung atau datar.
Dalam arsitektur Bali disebut atap jongjong. Bebeda dengan lingkaran bentuk tedung yang berangka tahun 1910 dan 1947 foto koleksi Tropenmuseum Royal Tropical Institute mempunyai bentuk datar atau nayah. 
Dilihat dari proporsi antara lebar lingkaran dan tingginya tiang tedung, khususnya gambar/foto tedung yang berangka tahun 1910 dan 1947 nampak mempunyai ukuran lebih tinggi kalau dibandingkan dengan ukuran tingg tiang tedung yang ada sekarang.
Kalau saat ini, ukuran-ukuran tinggi tiang tedung lebih-kurang 2 x 2.5 (dua setengah) kali leber lingkaran atap atau mendekati tiga kali dari lebar lingkaran, sedangkan di tahun 1900 sampai dengan tahun 1971 ketinggian tiang tedung diperkirakan empat kali dari lebar (nikel ping pat) bahkan ada yang lebih. 
Selain berdasarkan perhitungan bah-bangun (lebar kali tinggi/tinggi bagi lebar), untuk mencari ukuan antara lebar dengan tinggi tiang tedung, juga dipergunakan perhitungan depa, lengkat dan pengurip seperti ukuran membuat tangkai tombak
Adapun ukuran tinggi/panjang tiang tombak yaitu dua depa yang sama dengan lebih kurang 336 cm., ditambah pengurip lima lengkat duang guli atau kurang lebih 110 cm. ditambah 8 cm. Kalau dihitung dengan senti meter akan didapat ukuran tinggi/panjang ; 336 + 110 + 8 cm = 454: 4 = 113 cm.
Hasil tersebut dengan rincian sebagai berikut: 1 (satu) depa alit sama dengan 168 cm., 1 (satu) lengkat sama dengan 22 cm., 1 (satu) guli sama dengan 4 cm. Rinciannya adalah: 1 (satu) Depa Agung = 186 cm., 1 (satu) Depa Alit = 168 cm., 1 (satu) Lengkat) = 22 cm., dan 1 (satu) Guli = 4 cm. 
Adapun cara mengukur panjang tangkai tombak adalah sampai ujung besinya/ujung tombak.

Dalam naskah lontar tutur wiswakarma darma laksana maupun Asta Kosali disebutkan mencari panjang /tingginya tiang tedung yang dapat diubah adalah pada pengurip. Karena ada ukuran tombak dua depa, mahurip alengkat saguli, atau 336 cm +22 + 4cm. =362 cm.
Jika ukuran panjang tangkai tombak dibagi 3 (tiga) untuk mendapatkan lebar diameter atap tedung maka : 358 :3 =119 cm. 
Untuk hitungan jumlah iga-iga yang digunakan pada tedung agung maupun Robrob, digunakan hitungan yang lazim digunakan pada iga-iga asta kosal kosali bangunan pada rumah tradisional Bali seperti jineng, krumpu, meten, angkul-angkul, sanggah / tempat suci, petengahan, dan tempat berjualan yang diawali dengan hitungan;
  1. Sri, 
  2. werdhi, 
  3. Naga, 
  4. Hyang
  5. Mas,
  6. Perak.
Selain itu, jumlah iga iga yang ada di beberapa tempat, dan dari jenis tedung/pajeng/ungkulan baik tedung agung maupun robrob mayoritas berjumlah genap. 

Asumsinya adalah; jatuhnya pada hitungan No. 4 (empat) yaitu Hyang,
  • Kalau Hyang (4) itu dikalikan dengan kelipatan genap akan menemukan hitungan
    • Werdhi/Perak, 
    • Naga/Hyang, 
    • Naga/Perak, 
    • Hyang/Hyang, dan 
    • Mas/Hyang, 
  • Sedangkan kalau dengan cara menambahkan akan ditemukan jumlah 
    • 16. Hyang, 
    • 17. Mas, 
    • 18. Perak, 
    • 20.Werdhi, 
    • 22. Hyang, 
    • 24.Perak, 
    • 32.Werdhi.

Jumlah iga-iga :
  • 24 (dua puluh empat) buah dari hasil nikel/ perkalian 4 x 6 = 24 dan 
  • yang ada di pura Besakih iga-iganya berjumlah 32 buah yang merupakan hasil dari nikel/ perkalian 4 x 8 = 32. 
Dan ini berlaku juga dengan jumlah iga-iga pada tedung/pajeng/ungkulan lainnya yang jumlahnya seperti: 12 (dua belas), 14 (empat belas), 16 (enam belas), 17 (tujuh belas), 18(delapan belas), 20 (dua puluh), 22 (dua puluh dua), 24 (dua puluh empat), dan 32 (tiga puluh dua) buah. 

Disini dapat dilihat atau dibandingkan antara tingginya tiang tedung dengan jempana yang ada di sebelah bawah lingkaran “atap/daun” tedung atau antara posisi umat yang bersimpuh di depan/belakang tedung.
Secara visual, proporsi ukuran tedung robrob yang dipakai memayungi burung garuda saat prosesi ritual karya Eka Dasa Ludra di pura Besakih orang dengan yang membawa, ukuran tinggi tedung kurang lebih dua kali tinggi dari orang yang membawanya. 
Dapat diperkirakan tinggi tiang tedung bisa mencapai tinggi 450 cm (empat ratus senti meter). 

Jika ukuran tinggi dibagi atau pah telu / apeteluan untuk mendapat ukuran lebar, maka lebar tedung tersebut kurang lebih 150 cm (seratus lima puluh senti meter).

Selain adanya perbedaan ukuran penggunaan jumlah iga-iga pada tedung yang jenisnya sama (tedung agung / robrob) ada membedakan antara 
  • Melengkung/datarnya pada atap/daun
  • Tinggi/rendahnya tiang yang dipakai. 
Penggunaan warna tedung pada setiap jenisnya, sesuai penjelasan para nara sumber juga masih beragam, 
  • Ada berdasarkan kreasi para seniman/perajin, 
  • Ada berdasarkan stratipikasi/kasta (Brahmana, satria, waisia, dan sudra/pasek) 
    • Brahmana menggunakan warna putih
    • Satria warna hitam
    • Pasek menggunakan warna kuning
    • Warga Pande warna merah
  • Ada berdasarkan jenis pura (puseh, dalem, dan bale agung). 
Tanpa disadari pula perbedaan-perbedaan tersebut juga terlihat pada warna benang sulaman/rajutan pada iga-iga maupun dari teknik merajutnya.

Demikianlah tedung tersebut dibuat sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan artikel penelitian strategis nasional, pengawin sebagai sarana upacara agama hindu di Bali, dengan ukuran-ukuran dan pengurip-urip tertentu sebagai salah satu pengawin agar lebih bermakna dalam berbagai penggunaannya baik sebagai sarana upacara yadnya maupun lainnya.
***