Jineng adalah lumbung untuk menyimpan hasil panen padi (gabah) yang dahulu ada disetiap rumah tradisional keluarga di Bali.
Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini.
Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali dalam kutipan salah satu archive Andha_Ra blog disebutkan bahwa,
Hendaknya jineng juga dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral.
- Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat.
- Kedepan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.
- Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan.
- Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.
Demikianlah dapat diumpamakan.
Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.
Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.
Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri.
Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.
Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa atau wariga.Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi.
Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi.
Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama.
***