Dimana Dewa Maheswara sebagai penjaga keseimbangan natural spiritualnya.
Konsepsi kehidupan dalam ajaran agama Hindu pada dasarnya bersumber dari filosofis religi kosmos, yang memandang manusia dan alam sebagai sesuatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang sama.
Untuk mempertahankan keseimbangannya, makro kosmos dan mikro kosmos diatur melalui yang disebut Panca Maha Butha: apah, teja, bayu, akhasa, pertiwi (cairan, sinar matahari, udara dan zat padat). Dengan demikian kondisi setempat, iklim, fisik dan lingkungan dan sosial budaya sangat dipertimbangkan sebagai dasar penataan lingkungan (desa, kala, patra).
Dalam kehidupan sehari-hari filosofi bhuana agung dan bhuana alit yang selaras melahirkan aspek kehidupan berupa konsepsi-konsepsi.
Selanjutnya Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungannya, tersusun dalam konsep Tri Angga.
Sifat kosmos yang mengundung utpati, shiti dan pralina (dicipta, dipelihara dan dilebur) dalam konteks proses alam juga memberikan arti simbolis sebagai terbitnya matahari (Timur/utpati), teriknya matahari (tengah/shriti) dan terbenamnya matahari (Barat/pralina).
Secara konseptual tata ruang tradisional Bali didasarkan pada nilai yang dibentuk oleh 3 (tiga) sumbu, yaitu:
Seperti halnya Konsep Rwa Bhinneda yang merupakan bentuk hubungan antara makro kosmos (bhuana agung) atau alam semesta dan mikro kosmos (bhuana alit) atau badan kasar manusia sebagai dua unsur yang berbeda dan selalu ada, di mana satu sama lain saling mempengaruhi.
Kosmos selalu mengalami proses terus menerus sebagai akibat dari ketidakseimbangan kondisi. Proses ini mengandung dimensi waktu yang disebut konsep Tri Masa (Atita/masa lalu, Wartamana/masa kini dan Nagata/masa depan) serta konsep Nemu Gelang (proses kembali ke asal namun dalam kedudukan yang lebih tinggi).
Untuk mempertahankan keseimbangannya, makro kosmos dan mikro kosmos diatur melalui yang disebut Panca Maha Butha: apah, teja, bayu, akhasa, pertiwi (cairan, sinar matahari, udara dan zat padat). Dengan demikian kondisi setempat, iklim, fisik dan lingkungan dan sosial budaya sangat dipertimbangkan sebagai dasar penataan lingkungan (desa, kala, patra).
Dalam kehidupan sehari-hari filosofi bhuana agung dan bhuana alit yang selaras melahirkan aspek kehidupan berupa konsepsi-konsepsi.
Konsepsi tersebut meliputi konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya.
Tri Hita Karana, bila duraikan secara harfiah Tri berarti tiga, Hita berarti Kemakmuran, baik, gembira, senang, lestari atau kehidupan, dan Karana berarti sebab musabab atau sumber sebab.
Selanjutnya Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungannya, tersusun dalam konsep Tri Angga.
Tri Angga secara harfiah dapat diartikan Tri sebagai tiga dan Angga sebagai badan. Konsepsi Tri Angga ini menekankan pada tiga nilai fisik, yaitu Utama Angga/sakral, Madya Angga/netral, dan Nista Angga/profan.
Konsepsi ini memberi arah tata nilai secara vertikal. Disamping itu konsepsi Tri Angga di dalamnya juga meliputi tata nilai yang berkaitan dengan orientasi yang disebut Luan-Teben yang menjadi pedoman tata nilai di dalam mencapai penyelarasan antara bhuana agung dan bhuana alit.
Luan-Teben memiliki orientasi antara lain:
Luan-Teben memiliki orientasi antara lain:
- Berdasarkan sumbu bumi, yaitu kaja-kelod (gunung dan laut),
- Arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah),
- Berdasarkan sumbu Matahari, yaitu: Timur-Barat (Matahari terbit dan terbenam).
Ketika kedua sistem tata nilai ini digabungkan maka secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala yang membagi ruang menjadi sembilan segmen.
Sedangkan sifat kosmos atau alam yang disimbolkan dengan huruf suci Panca Brahma. Filosofi inilah yang kemudian melahirkan konsep Catus Patha, yang memberi pengertian bertemunya pengaruh yang datang dari empat arah mata angin (Timur, Selatan, Barat dan Utara).
Sedangkan sifat kosmos atau alam yang disimbolkan dengan huruf suci Panca Brahma. Filosofi inilah yang kemudian melahirkan konsep Catus Patha, yang memberi pengertian bertemunya pengaruh yang datang dari empat arah mata angin (Timur, Selatan, Barat dan Utara).
Jika konsep Catus Patha digabung dengan Panca Aksara maka akan melahirkan konsep Dasa Aksara. Filosofi ini kemudian menjiwai konsep Astha Dala (delapan penjuru mata angin) dengan satu inti di tengah, yang akhirnya melahirkan konsep Dewata Nawa Sangha.
Konsep ini merupakan kristalisasi filosofi yang menggambarkan pengendalian ketertiban proses keseimbangan alam, mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat dan sebagai jiwa dalam perencanaan fisik/tata ruang yang telah melahirkan konsep Nawa Sangha (sembilan pengendali).
Sifat kosmos yang mengundung utpati, shiti dan pralina (dicipta, dipelihara dan dilebur) dalam konteks proses alam juga memberikan arti simbolis sebagai terbitnya matahari (Timur/utpati), teriknya matahari (tengah/shriti) dan terbenamnya matahari (Barat/pralina).
Hal tersebut yang digabungkan dengan konsep Tri Angga yang mewujudkan konsep tata ruang Bali, yang disebut Sanga Mandala (sembilan zona).
Secara konseptual tata ruang tradisional Bali didasarkan pada nilai yang dibentuk oleh 3 (tiga) sumbu, yaitu:
- Sumbu kosmos (tri loka): bhur loka (bumi), bhuah loka (angkasa) dan swah loka (sorga).
- Sumbu religi/ritual: kangin-kauh (arah terbit dan terbenamnya matahari).
- Sumbu natural/bumi: kaja-kelod (arah gunung dan laut). Seperti dalam konsep nyegara gunung
Sumber : Artikel Hindu Nusantara Oleh: Shri Danu Dharma Patapan (I Wayan Sudarma).
Dan beberapa Implementasinya disebutkan sebagai berikut :
- Panggunaan Tiang Bali Sakaroras, bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah dengan pembagian empat-empat sebanyak tiga deret (hulu teben) dari luan ke teben.
- Dapur / paon yang selalu terletak di selatan (konsep Luan Teben kaja-kelod) dapat difungsikan sebagai tempat melukat dalam pembersihan diri setelah melayat.
***