Desa Kala Patra

Desa Kala Patra adalah kelenturan interpretasi masyarakat pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang disesuaikan dengan situasi/keadaan tertentu sebagaimana disebutkan dalam majejahitan: pewarisan kesadaran estetika manusia Bali, yang prinsipnya penyesuaian desa kala patra ini sebagai bentuk,
  • keleluasaan untuk melakukan re-interpretasi dan 
  • improvisasi secara terus menerus 
Sehingga menjadikan tradisi sebagai warisan yang 
  • lentur, 
  • fleksibel, dan 
  • menjawab kebutuhan jamannya, 
Dengan terus berpegang pada esensinya yang terdalam, penghalusan kemanusian kita secara terus-menerus asalkan unsur-unsur pokok tetap terjaga seperti dalam pewarisan banten (yadnya) dan mejejahitan yang terwariskan juga prinsip desa-kala-patra ini sehingga setiap generasi punya kesempatan melakukan improvisasi secara terus-menerus pula.

Kelenturan desa kala patra ini dalam interpretasi masyarakat pada suatu wilayah seperti motif patra dalam suatu bangunan pelinggih pura ataupun pelaksanaan upacara - upacara yadnya yaitu sebagai contoh karya memungkah, Piodalan Rambut Sedana dll yang dudonan upacaranya disesuaikan dengan desa kala patra masing - masing banjar atau desa adat sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang sejahtera dan tentram.

Sehingga peranan para sulinggih tak kalah pentingnya dalam mensosialisasikan konsep Desa-Kala-Patra ini secara luas ke masyarakat dalam penjabaran makna banten bagi Umat Hindu di Bali dan masalahnya kini bagi masyarakat yang dalam artikel stiti dharma online, disebutkan bahwa umat Hindu di Bali diharapkan untuk dapat menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan waktu yang luang.

Oleh karena itu bebantenan yang dikategorikan dalam kelompok : 
  • alit
  • madya
  • ageng (utama) 
Hendaknya dijelaskan oleh para Sulinggih kepada umat secara luas, dengan menekankan bahwa banten yang alit tidak berarti nilainya lebih rendah dari banten yang madya-utama, demikian sebaliknya, karena hakekat banten sebagai curahan rasa bhakti dan kasih kepada Hyang Widhi.
Walaupun penyelenggaraan sebuah yadnya dengan cara nunas puput namun tidak berarti melupakan makna yang terkandung dalam upacara yadnya yang akan diselenggarakan tersebut.
Diharapkan dengan adanya konsep Desa-Kala-Patra ini, janganlah sampai umat kita menghadapi kesulitan atau menjadi miskin artha karena melaksanakan upacara yadnya secara berlebihan.
***