Pitra Puja

Pitra puja, yaitu penghormatan/pemujaan kepada para leluhur yang telah mendahului kita, yakni sesuai garis purusa yang distanakan pada tempat-tempat, seperti; sanggah/merajan, pura dadia, panti, paibon yang tergolong pura kawitan (pura leluhur). 
Pemujaan leluhur ini merupakan kepercayaan untuk dapat berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan.
Dengan mantra yang diucapkan disebutkan yaitu,
Om moksantu pitaro devah, Moksantu pitara ganam, Moksantu pitarah sarvaya, Namah svada.
“Om Hyang Widhi semoga atmanya mencapai moksa, semoga semua atma / roh suci mencapai moksa, sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi dan hormat hamba kepada semua atma suci.”
 Dalam arti suku katanya, pitra puja disebutkan yaitu :
  • Pitra, yaitu berarti unsur-unsur kekuatan Panca Maha Bhuta yang membentuk lapisan Stula Sarira sebagai wahana bagi evolusi bathin kita di alam material (lahir sebagai manusia).
  • Puja adalah pujian/pemujaan kepada Tuhan dan manifestasi-Nya.
  • Dimana dengan memuja Hyang Widhi / Tuhan ‘lewat’ roh suci leluhur, bapak dan ibu, kakek nenek dan seterusnya yang pada akhirnya akan sampai juga pada Tuhan. 
    Dan para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan ‘mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa.
Tema cerita ini sebagai amanat yang ingin disampaikan yaitu tuntunan prilaku bagi seorang anak agar senantiasa menjaga keselarasan dengan orang tua (leluhur) sebagaimana dikutip dari artikel pos Gung Oka di fb yaitu :

Tersebutlah seorang pertapa sakti yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. 
Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para Dewa. 
Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan istri, malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke segala tempat yang ia kehendaki.
Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surga dan neraka, dimana leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka. 
Ketika berziarah ke Ayatanasthana, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup, kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang-linang air matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal, berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya.

Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur itu,
“Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?”
Leluhumya berkata:
Nahan ta hetu mami n pegat sangkeng tibeng narakolaka;tattwanikang petung sawilih, hana wangsa mami sakiki, jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih taya, mahyun lupeteng sarwa janmabandhana, ta tan pastry, ya sukla brahmacari.
Artinya :
Beginilah sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah bambu ini ialah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan, la tidak mau kawin, ia menjalankan sukla brahmacari.
Kata-kata leluhurnya ini dijawab, oleh Sang Jaratkaru:
Hana n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun.
Artinya: 
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah tuan ragu dan takut. Hamba akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai anak.
Demikianlah kata Sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya. 

Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia sambil mengeluh kepada semua Dewata.
Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.”
Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan memberikan adiknya Sang Naga. Sang Jaratkaru hanya berkenan memperistri perempuan yang ‘senama’ atau mempunyai kesamaan dengan dirinya, yaitu perempuan yang punya rasa belas kasih dan berbudi luhur sehingga memungkinkan terjadinya keseimbangan dan keselarasan hidup.

Dari perkawinan inilah Sang Astika lahir menandai keberhasilan perkawinan Sang Jaratkaru dengan Nagini Jaratkaru yang dapat membebaskan kedua pihak leluhurnya.Yayawarabrata (ayahnya Jaratkaru) melayang lepas dari gantungan buluh petung, dan para ular (saudara-saudaranya Nagini Jaratkaru) terbebas dari upacara sarpha yadnya (korban ular).

Carita Jaratkaru mengungkapkan persoalan dilematis, merujuk pilihan hidup brahmacari dari Sang Jaratkaru.

Di satu sisi Sang Jaratkaru komitmen ingin melakukan sukla brahmacari sesuai dengan harapan dan cita-citanya dari kecil. 
  • Cita-cita brahmacari atau brāhmacarya mempunyai misi suci dan mulia, yaitu membujang dengan pikiran terbebas dari pemikiran tentang seks atau hubungan fisik dengan lawan jenis. Pembebasan diri dari pemikiran tentang seks ini merupakan salah satu pengekangan indria, karena pikiran-pikiran yang membelenggu tentang kenikmatan jasmani menurutnya hanya menyisakan sedikit ruang bagi pikiran-pikiran mulia. 
  • Di sisi lain brahmacari sebagai pembujangan seumur hidup yang dilakukan Sang Jaratkaru berkonskuensi memutus tali hubungan antara leluhurdengan keturunannya. Ini berarti ia telah membuat kebuntuan proses reinkarnasi tempat (numitis) bagi leluhurnya yang telah disucikan/meninggal.
Lalu apa yang dimaksud Sukla Brahmacari? 
Lontar Wrtisasana menjelaskan “Suklabrahmacari ta pa stri sangkan rare, tekang kapatinira… Suklabrahmacari ialah orang yang tidak kawin dari kecil sampai meninggal. (penggalan sebuah sloka Kitab Wrtisasana (Kirtya No. IIb. 76 halaman 3).
Inilah yang menjadi inti persoalan Carita Jaratkaru sehingga setiap orang diharapkan berketurunan karena berkaitan dengan pemujaan leluhur. Sebutan anak di Bali sering disebut "putra", dalam bahasa Sanskerta berarti penyelamat.
Dengan demikian mempunyai anak menurut pandangan Hindu selain bertujuan untuk meneruskan keturunan juga menyelamatkan leluhur yang menjadi asal muasal kita sebagai manusia.
***