Rsi Wisrawa (atau Resi Waisrawa) adalah seorang bhagawan yang diceritakan sakti mandraguna, dengan tapa yang dilaksanakanya mampu bolak-balik ke nirwana yaitu alam swah loka,
oleh sebab itu beliau juga disebut sebagai Bhatara Wisrawa, karena pernah bersua dan bertatap muka secara langsung dengan Sang Hyang tunggal.
Dalam beberapa cerita beliau juga disebut sebagai :
- Batara Ismaya dalam pewayangan,
- Dalam pewayangan Bali biasanya punakawan ini juga disebut dengan Tualen,
- Sang Hyang Semar (Sang Hyang Ismaya).
- Dalam Epos Ramayana, disebutkan beliau memiliki beberapa putra yang salah satunya bernama Rahwana sebagai Raja Alengka.
Pada suatu hari, disaat Sang Begawan Wisrawa melalui tapanya untuk bolak-balik ke Nirwana - Dunia (bumi) ini, diceritakan sebagai berikut :
Manakala Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para Bidadari, khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya. Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan atau Resi, tetapi sudah menjadi Batara.
Para Dewapun bertanya kepada beliau,
”Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air noda dunia dari Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini?
Kami para Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga berkurang oleh air noda dunia.
Hanya engkau, Batara Wisrawa yang mampu membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena engkau bisa kembali ke bumi.”
Maka Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik pada permata cahaya di dinding surga.
Namun, setelah dibersihkan ternyata cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.
Berkatalah kembali para dewa,
”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu.
Tetapi cahaya gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang.
Permata-permata indah yang biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram.
Tetap buram walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”
Bersabda Batara Narada,
”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang.
Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram.
Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”
Batara Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di surga menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.”
Jadilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.
Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi, Yang Maha Tunggal di puncak Nirwana,
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
Terdengarlah sabda suci dari Hyang Widhi :
”Memang, hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya yang Aku ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan turun ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”
Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung, Hyang Widhi Wasa, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Nirwana ke Nirwana membawa serta cahaya, sabda-Nya :
”Siapakah yang bisa menerima ’Anugrah’, dari cahaya ini?”
Semua bungkam, semua bisu. Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara Wisrawa pun bungkam.
"Engkau Wisrawa?”, sabda Hyang Agung, ”Bisa membawa Anugrah cahaya ini?
Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad jiwamu.
Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini.
Berarti engkau bisa mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”
Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.
”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari segala cahaya ini”, kembali Hyang Widhi bersabda :
”Cahaya puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya puji-pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji. Berarti Aku yang harus tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah, Aku lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”
Hing Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya, tatapan kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru yang juga disebut Dewa Siwa ini.
”Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua makhluk, dari pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun hampir mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri.
Bawalah Kekuasaan Cahaya ini oleh engkau, wahai Batara Guru.”
Batara Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka kecintaan Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru.
Cinta Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala Yang Terpuji, diterima.
”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara Guru.”
Maka cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari semula dan kini Jagad Bathin Batara Guru pun, lebih cemerlang dari cahaya Nirwana itu sendiri.
Sabda Hyang Widhi, pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali pada-Ku cahaya itu.”
Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah.
Inilah yang dinamakan Cupu Manik Astagina. Di dalamnya ada Kekuasaan Hyang Widhi, Cinta Hyang Widhi Yang Maha sempurna.
Demikian dipersembahkan kembali pada Hyang Widhi,
Cahaya di Nirwana
Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.
Sabda-Nya : ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara waktu, ke tempat-Ku.
Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Guna mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”
Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa menangis dan berkata :
”Wahai Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang panjang, engkau, para Dewa-Dewa pun, ternyata belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi, bertatap muka dengan Hing Murbeng Asih.
Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama engkau aku bertemu. Akupun bertemu dan bertatap muka dengan Hyang Maha Agung.”
Akhirnya datanglah Sabda-Nya kembali :
”Wahai Batara Wisrawa,
belum saatnya engkau meninggalkan dunia, engkau masih dibutuhkan oleh dunia.
Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah Ku-genggam ini, namun cupunya saja.
Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah tersimpan dalam jiwamu.
Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang telah Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik Astagina ini”.
Demikianlah disebutkan dalam salah satu pustaka Pinandita Sanggraha Nusantara dalam realisasi pangruwating diyu dan Sejarah ”Cupu Manik Astagina” (Bagian 1), yang kebenarannya disarikan kembali oleh oleh Pinandita Astono Chandra Dana.
***