Surga

Surga adalah alam persinggahan sementara.
Dimana indah dan tidaknya saat perjalanan sang roh tersebut menuju surga disebutkan sesuai dengan karmawasana masing-masing selama hidupnya.

Dalam agama Hindu, surga merupakan persinggahan sementara. Menurut Swami Dayananda Saraswati, surga adalah pengalaman liburan. 
Seperti seorang pergi ke Hawai atau ke Bali untuk bersenang-senang dan kemudian kembali ke rumahnya.

Bagavad Gita mengatakan :
“Setelah menikmati surga yang luas, mereka kembali menjelma kedunia ini sesuai ajaran kitab suci. Demi kenikmatan mereka datang dan pergi”.

Surga adalah kesenangan sementara (pleasure). Sedangkan kebahagiaan yang sejati (Joy atau happiness) adalah Moksha.

Tujuan Hidup Manusia Menurut Agama Hindu, “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah" Bukan Promosi Surga Atau Neraka.
Namun Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. 

Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah“, yang berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian abadi). 

Ajaran tersebut dijabarkan dalam konsep Catur Purusa artha atau catur warga adalah empat dasar dan tujuan hidup manusia [#Budiarta Wayan].

Dan uraian tentang surga dalam Hindu di Bali disebutkan dalam beberapa referensi lontar diantaranya :
Dimana sebagaimana dikatakan :
Wahai roh yang telah disucikan (dewa pitara), sekarang engkau telah lepas dari ragamu, kembalilah engkau ke surga, jangan engkau ikuti arah Barat Daya, arah itu menuju neraka (patala), jalan ke Timur Laut yang harus engkau lalui. 

Menurut pandangan umat Hindu (Bali), bahwa arah timur laut (Ersania) merupakan perpaduan antara arah Timur dan Utara. 
  • Arah Timur (Purwa) merupakan awal terbit matahari yang merupakan sumber energi kehidupan. 
  • Arah Utara atau Uttara juga disebut Kaja atau Ka adya. 
Lebih lanjut dilukiskan tentang perjalanan roh menuju surga. Roh-roh yang telah diupacarai tidak serta merta mendapatkan surga, melainkan melalui beberapa pantangan yang harus diikuti. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan tersebut:
. . . téka pwa sira ring suruwěyam, ring balé pangangěnangěnan, nggonta rěrěn, apan parerenaning hyang déwa pitara kabéh. Sah pwa sira ring balé pangangěnangěnan, téka pwa sira ring banjaran kěmbang, aywa sira mětik kěmbang, manawa kadanda dé sang widyadari, dén lumaris lampahira, téka pwa sira ring oot gonggang, aywa sira ngidékin tungtunging oot, manawa tiba sira těngahing oot, ya ta lumaris lampahira, téka pwa sira ring babahan sanga, aywa sira nogdog lawang. (1b. 1.b).

Terjemahannya : 
. . . Tibalah engkau di perbatasan kahyangan (suruweyam), disebuah bale peristirahatan, di sana tempat beristirahatnya para atman (dewa pitara). Setelah engkau meninggalkan bale peristirahatan itu, kamu akan sampai di hamparan kebun bunga, jangan coba-coba memetik bunga di sana, barangkali kamu akan dimarahi oleh para widyadari, berjalanlah lurus, kamu akan sampai disebuah jembatan yang goyang-goyang (titi ugal-agil), jangan kamu menginjak ujung jembatan, kamu akan jatuh ketengah-tengah jembatan, berjalanlah dengan tenang, kamu akan tiba disuatu tempat, yaitu jalan simpang siur (jalan tol bercabang sembilan), jangan menggedor-gedor pintu… 

Manawa kagyat sang dorakala, Manawa sira kabancana de sang atunggu lawang, neher tinakonakena patinira, reh ira mati eling ring pasamayanira, tinuduhaken pwa sira marga de nira hyang dorakala, tuuten de nira dalan maring wisnu pada, teka pwa sira ring wisnu pada, lumaris ta sira maring kadewatan, anuli sira ring kahyangannira Hyang Wisesa, padamunung kita i rika, apan dunu nganira Hyang Dewa Pitara Kabeh, teka pwa sira ring swarga, aywa lawas denta mang dadi dewata, pitung lek pitung wengi lawasta mangher swarga. . . (1b. 2.a). 

Terjemahannya : 

Barangkali terkejut sang dorakala (wujud Saanghyang Yama untuk menjemput sang atma dan memberi keadilan), kemungkinan kamu dimarahi oleh penjaga pintu, kemudian kamu akan ditanya tentang kematianmu, oleh karena, kematianmu itu sesuai dengan takdirmu, kamu diberi petunjuk oleh beliau sang dorakala, ikuti olehmu jalan menuju Wisnupada, setiba di Wisnupada, lanjutkan ke alam dewata, tibalah engkau di surganya Sang Hyang Wisesa (Tuhan Yang Maha Kuasa), berkumpullah yang engkau di sana, karena tempat itu merupakan tempat berkumpulnya para roh- roh suci (dewa pitara), setelah kamu terdiam di surga, jangan terlalu lama menjadi dewata, hanya tujuh bulan tujuh malam saja lamanya di surga. . . 

Uraian naskah Putru Pituduh Pitara di atas memberikan isyarat, bahwa surga merupakan alam orang-orang subha karma, untuk mendapatkannya melalui proses yang rumit dan berliku-liku menurut petunjuk sastra di atas.  

Pustaka lain, selain naskah Putru Pituduh Pitara di atas, yaitu lontar Putru Pasaji menggambarkan bahwa seseorang akan mendapat surga, apabila sanak keluarga yang ditinggalkan melakukan upacara pitra yadnya, yaitu proses pengembalian sawa wadana dan atma wadana. 
  • Sawa wadana merupakan proses pengembalian unsur panca maha bhuta ke asalnya; 1). Rambut dan bulu badan berasal dari akasa, dikembalikan ke unsur akasa; 2). Tulang, kuku, daging berasal dari pertiwi dikembalikan ke pertiwi; 3). Keringet, darah, air liur, air kencing, berasal dari apah, dikembalikan ke apah; 4). Mata, panas badan, energi, berasal dari teja, dikembalikan ke teja; 5). Nafas berasal dari wayu, dikembalikan ke bayu. 
  • Atma wadana adalah proses penyucian roh atau atma. Proses penyucian ini dinamakan nyekah. Pada waktu upacara nyekah, berbarengan dengan pendeta yang memimpin upacara, dibacakan lontar tentang sarana dan prasarana yang boleh dipergunakan untuk upacara nyekah, ada juga yang tidak boleh dipakai untuk sarana upacara. 
Apabila hal itu dilanggar menjadikan atman seseorang jatuh ke neraka (papa neraka). Demikian juga sebaliknya, apabila sarana dan prasarana yang dipergunakan sesuai dengan sastra agama, maka roh atau atman seseorang akan menuju alam surga (Swah Loka). 
***