Peradaban dan Kebudayaan Asia Tenggara

Peradaban Asia Tenggara adalah terminal migrasi bagi perkembangan kebudayaan di dunia yang dinamis.
Dimana pada masa prasejarah dan Pra-Hindu memiliki keunikan tersendiri.
Seperti halnya pada zaman dahulu disebutkan :
  • Dalam sejarah Jawa Kuno, gugusan pulau-pulau yang berada di Asia Tenggara disebut dengan Sweta Dwipa.
  • Dalam motif hias Nekara
    • Ikan (mina) sebagai simbol dari ketekunan dan tekad yang kuat, sebab ikan bertahan hidup di jeram-jeram Sungai.
    • Gajah sebagai simbol kedaulatan, kekuasaan raja dan kekuatan spiritual oleh karena itu seringkali dihubungkan dengan Buddha Sakyamuni.
Dalam dinamika peradaban Asia Tenggara pada masa protosejarah sebenarnya kawasan ini merupakan wilayah yang dinamis dalam perkembangan kebudayaannya.
Wilayah tersebut merupakan terminal migrasi bangsa yang datang dari arah Asia kontinental. 
Dalam upaya menempati wilayah yang baru saja dihuni, manusia migran dari daratan Asia mengembangkan kebudayaannya yang akan menjadi dasar perkembangan kebudayaan Asia Tenggara hingga kini.

Setelah beberapa ratus abad bermukim di daratan Asia Tenggara, orang-orang yang kemudian mengembangkan kebudayaan Austronesia tersebut, sebagian ada yang melanjutkan migrasinya ke wilayah kepulauan, menyebar ke arah kepulauan Nusantara dan juga Filipina, bahkan terus berlanjut ke arah pulau-pulau di Samudera Pasifik.

Menurut Robert von Heine Geldern, migrasi ke arah wilayah kepulauan terjadi dalam dua tahap, yaitu:
  1. Tahap pertama berlangsung dalam kurun waktu antara 2500 -1500 SM. 
  2. Tahap kedua berlangsung dalam kurun waktu yang lebih muda antara 1500— 500 SM (Von Heine Geldern 1932 and 1936; Soejono 1984: 206--208).
Kesimpulan tersebut didasarkan kepada berbagai penemuan arkeologi, antaralain monumen-monumen dari tradisi megalitik yang tersebar di berbagai wilayah Asia Tenggara termasuk di Indonesia. 

Dan selanjutnya menurut ilmuwan Perancis Dr. G. Cocdes yang ahli tentang sejarah kuna Asia Tenggara dalam bukunya The Indianized State in South East Asia menyatakan ada beberapa elemen-elemen kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh Hindu adalah :
  • Penanaman padi dengan sistem pengairan.
  • Menjinakkan binatang, lembu dan kerbau.
  • Teknik menuang logam.
  • Kepandaian dalam pelayaran.
  • Sistem kekerabatan material.
  • Dibidang kepercayaan, percaya pada pemujaan roh leluhur.
  • Tempat sucinya berbentuk teras piramid dengan menhir di atasnya.
  • Sistem penguburan dengan memakai sarkofa dan tempayan.
  • Konsep cosmological dualisme yaitu gunung dan laut. 
Dr. WF Stutterhiem dalam tulisannya yang berjudul Indian Influence in Old Balinese Art, 1935 menyatakan:
“ The Balinese applaid the aquired knomledge from Indonesian order arrive at his own system”. 
Sebagai contoh kearifan lokal kebudayaan Bali pada aspek keagamaan adalah sistem pemujaan arwah leluhur yang dianut masyarakat pada masa megalitik melanjut terus setelah datangnya kebudayaan Hindu
Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan antara pemujaan arwah leluhur (Hyang) yang disebut bhatara dan pemujaan Tuhan yang disebut Hyang Widhi Wasa atau Hyang Parama Kawi.
Demikian pula tempat-tempat pemujaan atau Pura
Di dalam pura ada bangunan suci tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi dibangun berdampingan yaitu Padmasana sebagai Singgasana Hyang Widhi dan Kemulan, Pajenengan sebagai tahta Ida Bhatara, leluhur suci.

Terjadinya hubungan antara kedua kebudayaan antara pra sejarah dan Hindu mewujudkan satu integrasi yang utuh antara tradisi, agama dan kebudayaan serta mewujudkan suatu konfigurasi nilai yang menjadi landasan dasar bagi pembentukan identitas manusia dan masyarakat Bali. Konfigurasi nilai dasar tersebut terdiri dari nilai-nilai solidaritas, estetis dan religius.
Demikian sebagaimana ditambahkan dalam kisah leluhur di rong kalih sebagai warisan bangsa Proto Melayu ini juga pernah mendiami daratan Bali. Hal ini terbukti dari ditemukannya peninggalan-peninggalan zaman Batu Muda tersebar di pulau Bali.
***