Tata Upacāra Membangun Sebuah Pura Baru

Tata upacāra membangun sebuah pura baru sebagai tempat suci untuk ketentraman jiwa dalam melaksanakan sembahyang kepada Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu disebutkan :
  • Diawali dengan merubah status tanah yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. 
    • Jenis Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura baru.
  • Upacāra Nyukat Karang, dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang sesuai dengan aturan yang termuat dalam lontar tentang arsitektur Bali, baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.
  • Upacāra Nasarin, sebagai peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. 
  • Upacāra Memakuh, Melaspas untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacāra pujawali atau piodalan.
  • Upacāra Mendem Pedagingan, setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan upacāra ini sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan.
  • Ngenteg Linggih sebagai rangkaian upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura sebagai tempat suci.
Namun tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra.

***