Ketika berada di atas tanah / pekarangan itu perasaan menjadi damai, tentram dan hening yang dapat membawa ketentraman bathin dan kedamaian.
Dalam sumber kutipan Bimbingan Ketrampilan Hidup yang Berlandaskan Tri Hita Karana, dijelaskan bahwa :
- Palemahan ini menyiratkan nilai sikap manusia belajar memahami hidup toleran dengan lingkungannya,
- Seia sepenanggungan (paras - paros salunglung sabayantaka saharpanaya),
- Tidak akan berbuat merusak, dan memporandakan alam (anuduhkna ajnyana sandhi),
Dengan semakin lestarinya alam lingkungan dalam konteks Danu Kertih sebagai bagian dari Sad Kerti pada upacara labuh gentuh yang diharapkan kelestarian danau tetap terpelihara, air danau
dan sumber air selalu tersedia, suci dan bersih sehingga tercipta sarwa
hita atau sarwa sukerta di alam ini.
Upacara untuk mengharmoniskan “areal atau wilayah” yang menggunakan Bhuta Bhuta Yadnya untuk palemahan disesuaikan menurut obyeknya seperti :
- Caru Palemahan Bumi Sudha, untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan bumi atau alam sekitar dan lingkungannya.
- Caru Sasih untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan ruang dan waktu.
- dll.
Sane ngawinang pulau Baline kaparinama asapunika tur kasenengin olih para janane boyaja tios, punika santukan keasrian palemahan pulau Baline,
katuku malih antuk seni lan budaya maka miwah para jana Baline sane ngandap kasor utawi kuma warga, sami punika kadasarin antuk agama Hindu sane pinaka dasar mapineh jatma Baline.
Dan sebagai tambahan :
- Berkaitan dengan adanya “palemahan hala” dan “karang kebaya-baya dilakukan dengan upacara pangupa hayu sebagai usaha untuk menghindarkan dari bahaya-bahaya yang mengancam secara niskala untuk membangun rumah dalam sebuah pekarangan.
- Pengolahan sampah upacara menjadi kompos disebutkan juga merupakan suatu prilaku dharma yang termasuk dalam wilayah melestarikan palemahan (lingkungan), sebagaimana pula jika dilakukan secara profesional,
- Maka akan menambah atau membantu perekonomian selain pula membantu pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang asri.
***