Pujapati Wenang adalah prosesi nyupat hewan dan tumbuhan untuk dapat membantu mahluk itu melakukan subhakarma yang juga bertujuan :
Agar nantinya merekapun menuju kepada persatuan atman dengan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa) atau moksa.
Hal ini dilakukan, karena manusia-lah yang mempunyai daya berpikir (manacika) untuk dapat mengupayakan dirinya menuju kesatuan dengan Hyang Widhi yang dalam sekilas reinkarnasi oleh Stiti Dharma Online disebutkan bahwa :
Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukan hal yang sama seperti manusia.
Dan manusialah yang diberikan wewenang untuk “nyupat” binatang dan tumbuh-tumbuhan karena Hyang Widhi-pun menciptakan Kamadhuk (alam, hewan, dan binatang) untuk kehidupan manusia.
Disamping menggunakan mantra menyemblih hewan, mengenai kurban tersebut, menyembelih binatang untuk upacara, Ahimsa-kah? dalam wahana08's juga disebutkan bukan sembarang menghilangkan nyawa apalagi dilandasi oleh nafsu membunuh dan hendaknyalah sebagaimana tersurat dalam lontar berikut :
- Wrhaspati tattwa, sebagai salah satu lontar siwa tattwa di Bali.
- Yama Purana tattwa, naskah tradisional Bali yang termasuk lontar upacara yajna agama Hindu.
- dan Taru Pramana, suatu kekuatan mahluk hidup yang yang menjadi ukuran berdasarkan eksistensi dan kemampuannya.
Namun sering ada pendapat bahwa :
“dimana manusia, jangankan nyupat binatang dan tumbuhan nyupat diri sendiri saja tidak bisa”.
Ada benarnya pendapat ini tapi tidak sepenuhnya benar.
- Manusia nyupat diri sendiri melalui subhakarma,
- Melakukan yadnya yang dilandasi rasa bhakti dan keyakinan adalah salah satu subhakarma
- Sedangkan yadnya itu sendiri memberi kesempatan kepada manusia untuk membantu mahluk lain melakukan subhakarma,
- tidakkah ini sebagai suatu anugrah / waranugraha ?
- Hanya saja tata cara Nyupat disini sangat ditentukan dari niat (idep) saat melakukan penyembelihan/pengorbanan itulah yang sebaiknya di dalami agar tidak salah (Nyupat menjadi himsa karma).
- Paham inilah yang menjadi keyakinan kenapa umat Hindu di Bali (khususnya) tetap menjalankan tata cara beragama seperti halnya pelaksanaan upacara caru sampai sekarang ini.
***