Bejana Kemuliaan

Bejana Kemuliaan dikenal pada zaman dahulu sebagai kata mutiara untuk dapat mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin.

Tak ada kesucian menjadi sempurna tatkala ada salah satu kebencian tertanam dalam jiwa. 
  • Jangan biarkan telingamu bersaksi atas apa yang matamu tak melihat.
  • Jangan biarkan mulutmu berkata atas apa yang hatimu tak rasakan.
Dan hiduplah dalam kebenarankejujuran;
Bila seseorang hendak mewujudkan sifat-sifat kedewataan dalam dirinya, maka Satya mutlak harus dilaksanakan dengan sungguh, karena sesungguhnya Tuhan adalah kebenaran, maka ia akan dijumpai melalui kebenaran itu pula.

Terkadang butuh waktu dan proses serta kecerdasan bila ingin memahami isi dari sebuah bejana dengan segala seni model maupun bentuknya...? 

Namun ketika seseorang telah paham isinya air yang menyejukkan dia sudah tidak peduli lagi dengan bungkus/bejananya...

Dan dia akan memulai menikmatinya. 

Dalam Hindu Dharma, air dan bejana ibaratnya jiwa yang bersemayam di dalam badan.

Atma ( jiwa ) yang tinggal di dalam bejana tubuh manusia, agar jiwa bisa menjalani hidup didunia.

Begitupun sebuah bejana dibutuhkan lebih banyak oleh orang-orang pada umumnya, tapi bagi orang tertentu, bejana hanya untuk kebutuhan tertentu saja.
Disinilah yang disebut sebuah pencapaian yang tidak perlu lagi identitas yang menyekat-nyekat membuat sang ego menjadi terjebak dalam spiritual dan ajaran agama.

Namun bagi kelompok awam justru keindahan ukiran bejananya yang terpenting sebagai kebanggaan identitas.
Airnya bukan sesuatu yang esensial karena untuk meminumnya membutuhkan syarat kecerdasan intelektual untuk merasakan dahaga secara spiritual.

Pada zaman dahulu, jauh sebelum manusia mengenal agama, manusia telah mengenal spritual. 
Agama datang kemudian, setelah spritual berkembang.
    • Agama sebagai pembungkusnya; 
    • Spritual adalah isinya. 
Pembungkus ada mereknya, dengan merek itu dapat ditelusuri sumber asalnya.
Bungkus itu berupa ritual, dan ia lahir dari budaya masyarakat dimana spritual itu tumbuh. 
    • Ritual itu merupakan laku spritual. 
    • Ritual itu budaya, ia bukan isi.
Semisal air dalam bejana, apa pun bentuk dan jenis bejananya, air yang ada dalam bejana itu tetaplah air, ia dapat diminum untuk menghilangkan dahaga.
Bejana boleh saja berbentuk kendi dengan gaya seni Afrika, Mongol, Pigmi, Arabic atau Eximo dll, bisa juga gaya seni Nusantara
  • Gaya seni bejana-bejana itu bukan ukuran untuk menentukan bahwa bejana gaya seni tertentu isinya pasti air, dan bejana gaya, seni yang lain pasti tidak berisi air. 
  • Air ya air, bejana ya bejana - berbeda namun tetap berkaitan. 
Sebenarnya air tidak memerlukan bejana, namun bejana kehilangan fungsinya utamanya jika tidak ada air - bejana itu mungkin hanya bisa jadi hiasan.

 Air itu untuk diminum, dan orang yang minum air itu bisa saja menggunakan bejana apa pun bahkan orang bisa minum tanpa menggunakan bejana.

Manusia dan kehidupan lebih membutuhkan air ketimbang bejananya, namun banyak orang yang membawa bejana tanpa air di dalam perjalanannya, bejana itu dia bawa kemana-mana - dia tetap kehausan.

Belajar spritual itu sama artinya belajar ilmu tentang keilahian/kedewataan
Belajar agama apa pun sebaiknya harus sampai pada pemahaman spritualnya. 
Jika tidak, agama hanya bagaikan bejana tanpa air.

Bejana itu dibuat manusia, ia budaya dan ia juga seni. 
Namun air (sebagai bahan tirtha) itu bukan buatan manusia, ia bukan budaya, ia bukan seni melainkan suatu yang sejatinya ada untuk kehidupan. 

Dan bukankah manusia lebih membutuhkan airnya ketimbang bejananya?!
Oleh karena itu minumlah airnya, lupakanlah perbedaan bejananya.

Demikian Putu Suastika menambahkannya dalam artikel Hindu di fb. 

 ***