“Ada seorang brahmana bernama Kausika. Ia sangat taat pada sumpahnya sebagai brahmacharin. Setiap hari ia tekun bekerja, belajar, dan menyiapkan upacara persembahyangan.“
Burung itu membuang kotoran, jatuh tepat di kepala Kausika. Brahmana itu marah karena kepalanya kena kotoran burung.
Kausika menyesal.Hatinya sedih karena terlanjur membunuh burung yang tidak berdosa itu dengan melampiaskan pikiran jahat dan kemarahannya.
“Sesuai tradisi, sebagai brahmacharin, Kausika harus hidup dari meminta-minta.
Pada suatu hari ia pergi meminta-minta ke sebuah rumah. Dia duduk di ambang pintu rumah itu, menunggu diberi sedekah.
Lelaki kepala keluarga itu sedang bepergian dan istrinya sedang sibuk membersihkan perabot dan alat-alat dapur.
Ia meminta sang brahmana menunggu sebentar.
Ketika itu tahu-tahu suaminya datang. Karena lelah dan lapar, ia langsung minta makan kepada istrinya.
Dan sudah sewajarnya, perempuan itu melayani suaminya yang baru pulang.
Karena kesibukannya, ia seperti lupa pada sang brahmana. Tetapi rupanya tidak demikian. Setelah suaminya selesai makan, ia menemui Kausika yang sudah lama menunggu. Ia meminta maaf karena kesibukannya tadi dan kini siap melayani brahmana itu.
“Kausika marah karena dibiarkan menunggu lama.
Ia berkata,
‘Ibu, engkau telah membiarkan aku menunggu terlalu lama. Sikapmu itu tidak adil.’
“Sekali lagi perempuan itu minta maaf, tetapi rupanya Kausika belum puas marah-marah. Katanya menyindir,
‘Benar, tugas seorang istri adalah melayani suaminya. Tetapi, tidak berarti ia boleh menyia-nyiakan seorang brahmana.
Dasar perempuan sombong!’
‘Jangan marah-marah, wahai Bapa Brahmana. Aku sudah meminta Bapa menunggu karena aku sedang menyelesaikan tugas utamaku, yaitu mengurus rumahku dan melayani suamiku.
Aku bukan burung yang dapat dibunuh dengan sorot mata penuh amarah.
Kemarahan seorang brahmana tidak akan mengakibatkan apa-apa bagi perempuan yang mengabdi dan melayani suaminya dengan baik,’ kata perempuan itu.
“Kausika terdiam.
Ia berkata dalam hati, ‘Bagaimana mungkin perempuan ini bisa tahu tentang burung yang tak sengaja kubunuh itu?’
“Perempuan itu meneruskan kata-katanya,
‘Wahai Brahmana terhormat, engkau tidak memahami rahasia kewajiban. Engkau juga tidak sadar bahwa amarah adalah musuh terbesar yang bersarang di dalam diri manusia.
Maafkan keterlambatanku dalam memberimu sedekah. Sekarang pergilah ke Mithila untuk mendapatkan petunjuk tentang hidup baik dari Dharmawyadha yang tinggal di sana.’
“Kausika pergi ke Mithila dan berusaha mencari orang yang bernama Dharmawyadha. Ia mengira orang yang dicarinya itu tinggal di pondok yang sunyi, bebas dari kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan kota besar.
Ia berjalan menyusuri jalanan yang ramai, sambil bertanya kepada orang-orang apakah mereka tahu tempat tinggal orang yang sedang dicarinya.
Atas petunjuk orang-orang itu, akhirnya Kausika sampai ke sebuah kedai yang menjual daging.
Ia melihat penjual daging itu sibuk melayani pelanggannya. Setelah pertanyaannya dijawab, Kausika kaget sekali.
Ia tidak mengira bahwa orang yang sedang dicarinya ternyata seorang jagal dan penjual daging.Ia marah dan muak melihat keadaan di warung itu.
“Melihat Kausika datang, penjual daging itu berdiri dan memberi hormat sambil berkata,
“Wahai Brahmana yang kuhormati, bagaimana kabarmu? Sehat-sehat sajakah? Apakah engkau disuruh istri yang bijak itu datang ke tempatku?’
“Kausika terdiam karena heran.
Dharmawyadha melanjutkan,
‘Aku tahu ada seorang brahmana yang akan datang menemuiku. Datanglah ke rumahku untuk beristirahat, sebab perjalananmu masih jauh.’
“Kausika sadar setelah melihat ketekunan Dharmawyadha mengerjakan tugasnya sehari-hari; dari melayani para pembeli daging di kedainya hingga melayani orangtua dan anggota keluarganya di rumah.
Semua itu ia lakukan dengan baik, hingga ia merasakan hidup yang tenang dan bahagia di tengah keluarga dan lingkungannya.”
Setelah mengakhiri ceritanya, Resi Markandeya berkata,
Pekerjaan seseorang mungkin telah digariskan sejak ia dilahirkan, atau mungkin dipengaruhi oleh lingkungannya, atau mungkin karena pilihannya sendiri.
Apa pun pekerjaan seseorang, yang penting ia menjalankannya dengan semangat ketaatan dan kejujuran.
Inilah dharma yang sesungguhnya.
Demikianlah Ceritaku dalam Mahabharata 28 dikisahkan;
Tanpa disadarinya,
Kausika telah belajar tetang hidup sederhana, jujur, setia, tekun dan taat pada pengabdian dari Dharmawyadha.”
***