Tutur Kuranta Bolong

Tutur Kuranta Bolong adalah jenis tutur kamoksan yang berisikan perjalanan sang ruh setelah kematian untuk menuju alam Surga.

Pada bagian awal Tutur Kuranta Bolong, disebutkan bahwa lontar inilah yang boleh dipakai oleh seorang akan melakukan upacara seda raga atau orang yang sedang mataki-taki atau bersiap-siap mulih ke tanah wayah.
Untuk apa?
Ya tentu saja untuk mengetahui peleburan yang utama (wruh ring kapralinan uttama). Melebur adalah sebutan lain untuk mati. 
Dengan kata lain, Tutur Kuranta Bolong boleh dibaca oleh mereka yang ingin menyiapkan kematian.
Apakah ada jaminan persiapan itu akan sukses?
Silahkan tanyakan kepada mereka yang sudah pernah mati, lalu hidup kembali. Siapa mereka? Para Dwijati.
Diceritakan, sang Ruh naik ke atas tandu. Ada dua Kala yang datang dan membantu menggotong tandu itu. 
Sang Ruh dibawa ke Isana Loka.
Di Isana Loka, sang Ruh dimandikan di sebuah balai di depan Swarga. Swarga maksudnya Surga. Sambil mandi, didoakan oleh para Resi surga. 
Mandi saja didoakan, bayangkan betapa suci nanti hasil mandi itu. Tapi memang, kalau rajin baca-baca lontar ada beberapa mantra yang bisa diucapkan saat akan mandi.

Mandi pun selesai. Sang Ruh dituntun masuk ke sebuah gerbang yang berhiaskan bintang-bintang. Tanpa cela tempat itu. Di dalam tempat itu seluruh keluarga yang telah mendahului mati menunggu sang Ruh.

Tidak terkecuali para dewata juga ada di sana. Sang Ruh ingin tahu, di mana sesungguhnya istana Dewa Asmara. 
Dia bertanya kepada para dewata juga seluruh keluarga yang hadir. Mereka menjawab, “Sepuluh Nalika jauhnya dari sini. 
Tapi sekarang bukanlah saatnya ke sana, sebab Sang Hyang Shiwa akan datang.” 
Satu Nalika, konon adalah dua puluh empat menit jarak tempuh. Jadi dari tempat Ruh itu berada, perlu waktu dua ratus empat puluh menit untuk sampai ke istana Dewa Asmara. Berapa jaraknya dari Bumi? Mari kita cari tahu nanti.

Dengan tandu berwarna putih dan diiringi gambelan juga kekidungan, Shiwa datang melayang dari langit. 
Segala puja dan puji dikumandangkan oleh para Ruh dan dewata yang hadir. Berbagai nama Shiwa dielu-elukan seperti halnya para Dewata Nawa Sanga 
    • Sang Hyang Ishwara namanya saat memendarkan cahaya putih. 
    • Mahesora saat memendarkan cahaya merah muda. 
    • Brahma namanya saat bercahaya merah.
Rudra namanya saat bercahaya jingga. Mahadewa saat kuning. Sangkara saat hijau. Wisnu saat hitam. Sambhu saat abu-abu. Sridhanta saat memendarkan cahaya yang tidak panas. Sang Hyang Guru saat bersinar membuat seluruh pikiran manusia cemerlang. Bherawa namanya saat melebur segala kegelapan dan keakuan manusia.
Itulah beberapa nama-nama Shiwa. Menurut sumbernya, Shiwa memiliki seribu macam sebutan. Aji Palayon hanya menyebutkan beberapa. Shiwa konon berstana di langit. Tepatnya pada sekuntum teratai. Teratai itu berakarkan tanah, sedangkan bunga dan kelopaknya adalah langit. 
Di manakah tangkainya?
Tangkainya adalah udara yang menghubungkan tanah dengan langit. Udara yang mengubungkan itu disebut embang. 
Embang dapat berarti jarak yang kosong atau luang. Jarak tidaklah memisahkan, tapi menghubungkan.

Sang Ruh menghadap Shiwa di tempat itu. Di sana konon ada banyak bangunan Meru. Ada sebuah Meru Perak dengan kober (bendera) berwarna putih. Di Meru itu semua Ruh yang dahulunya senang melakukan tapa brata berada. 
Di belakang meru itu, terdapat Tegal Panangsaran yang sangat luas.
Ruh yang sombong dan berlaku buruk di sanalah tempatnya. Ada juga Meru Tembaga terletak di selatan dengan kober berwarna merah. Tempat Ruh yang dahulunya pemberani. Di belakangnya kawah neraka (cnadra gomuka) yang menganga. 
Tempat Ruh yang dahulunya suka membunuh orang tidak berdosa.
Meru Emas ada di barat, kobernya berwarna kuning. Tempat Ruh yang dulunya teguh berbuat baik dan melakukan puja kepada leluhur. Di belakangnya terdapat jurang yang sangat dalam. Tempat Ruh yang berani kepada ayah ibunya dahulu, disana Ruh itu tergantung di Tiing Petung.

Tiing Petung adalah nama sebuah bambu, yang biasanya memang berfungsi untuk menghukum Ruh. Meru Besi ada di utara, kobernya berwarna hitam. Di sanalah tempat para pemimpin yang hebat. Di belakangnya tumbuh pohon Curiga yang rindang. 
Pohon Curiga ini berdaun keris tajam. Di sanalah tempat Ruh yang suka Ngeleak.
Tiap arah ada meru dengan masing-masing warnanya. Di belakangnya terdapat tempat khusus untuk Ruh yang semasa hidupnya berlaku tidak baik. Ada juga Meru Permata letaknya di tengah. Tempat Ruh para Pendeta yang teguh melakukan brata. 
Di sanalah tempat para Pendeta / Sulinggih yang mahir dalam kitab Suci Weda seperti Yayur, Sama, Atarwa dan Reg Weda. Terutama tidak henti-hentinya mengusahakan kebahagiaan bagi seluruh dunia.
Saat berada di tempat itu, ada Ruh yang bertanya kepada Shiwa. Pertanyaanya begini. 
“Wahai Dewa, apakah hamba pantas di mendapatkan Surga? Sebab upacara pangabenan yang dilakukan oleh keluarga hamba, sangatlah kecil/nista.”
Shiwa konon menjawab,
Keteguhan hati dan perbuatan yang baik saat di dunia, juga Nirwreti Marga itulah yang patut dilakukan semasa hidup. Yakni manusia yang ingin menyatukan jiwa dengan sang Jiwa utama (Brahman).”
Pertanyaan sang Ruh sepertinya tidak dijawab oleh Shiwa. Tapi sesungguhnya, dengan mengatakan hal di atas, Shiwa menyatakan bukan tingkat pangabenan itu yang penting. 
Ada suatu jalan yang bisa ditempuh semasa hidup. Jalan itu disebut Nirwreti Marga. Apakah yang dimaksud dengan Niwreti Marga?
Menurut penjelasan Aji Palayon ialah Catur Marga yaitu Jnana, Bhakti, Karma dan Yoga. Ada beberapa penjelasan yang bisa didapat jika kita mencari-cari pengertian dari masing-masing Marga itu. 
Marga artinya jalan. Dan tiap jalan dilalui oleh pejalan yang berbeda. Perbedaan jalan hanyalah masalah cara pandang.
Shiwa ingin mengatakan, pilihlah jalanmu sendiri. Jalani dia dengan sungguh-sungguh semasa hidup. Tiap jalan menyediakan pengalaman berbeda. Beda jalan beda pula risiko yang timbul. Saat ajaran itu diberikan oleh Shiwa. 
Datanglah utusan Dewi Durga. Utusan itu konon menyampaikan kepada Shiwa, bahwa tubuh sang Ruh akan diupacarai oleh keluarganya. Maka sang Ruh mesti kembali sebentar ke dunia.
Saat upacara ngaben dilangsungkan, Ruh konon akan kembali ke rumahnya semasa hidup. Saat itu Ruh akan datang untuk melihat upacaranya sendiri. 

Demikianlah disebutkan dalam Kakawin Aji Palayon, Cerita Setelah Kematian [3];
Ruh itu konon mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah datang dan turut mendoakannya. 
Sang Ruh akan melihat tubuhnya sendiri diupacarai. Juga melihat segala peristiwa yang terjadi sepanjang upacara itu digelar. 
Orang-orang terkasih, sanak keluarga, sahabat, musuh, orang tua, suami, istri, anak-anak, semua akan dilihatnya.
***