Pura Gelap

Pura Gelap adalah tempat suci sebagai pemujaan Batara Iswara sebagai pelindung arah timur alam semesta atau Bhuwana Agung ini seperti yang disebutkan dalam pengider Dewata Nawa Sanga.
Pura ini sebagai bagian dari catur lawa yang terdapat di kompleks Pura Besakih.
Nama-nama pura di kompleks Pura Besakih itu memang sangat khas lokal Bali. Tetapi di balik ciri khas lokal itu terbungkus konsep yang sangat universal
Memang pemuka-pemuka Hindu di masa lampau sudah menggunakan konsep ''berpikir universal berlaku lokal''. Meskipun tidak dengan istilah seperti itu.
Istilah ''gelap'' seperti dijelaskan kakyang dalang dalam canang sari dikatakan bahwa Pura Gelap ini bukan berasal dari bahasa Indonesia. 
Kata ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini berasal dari bahasa Kawi yang artinya petir atau kilat dengan sinarnya yang putih menyilaukan itu. 
Sebagai media pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara yaitu dewanya sinar. Bumi ini bisa menjadi wahana kehidupan karena adanya sinar matahari. Sinar matahari inilah sebagai pemimpin sumber-sumber alam lainnya sehingga berfungsi memberikan kehidupan pada isi alam ini.
Tumbuh-tumbuhan meskipun disiram dengan air yang memadai tidak akan bisa hidup tanpa kena sinar matahari. 
Karena itu dalam kutipan Mantra Rgveda di atas dinyatakan Tuhan dalam wujud cahaya matahari itulah sebagai sumber kekuatan alam. 
Rohani orang-orang suci pun akan semakin kuat dengan meditasi pada cahaya alam tersebut. 
Karena itu pada zaman dulu, konon, Pura Gelap ini tempat meditasi para pandita maupun orang yang menyiapkan diri menjadi pandita.
Pura ini juga dinyatakan sebagai penegak dan pemelihara kesucian ''kependitaan''. Pura Gelap lambang dari pusat sinar Bhuwana Agung. Dengan sinar alam semesta ciptaan Tuhan ini semua kekuatan unsur alam ini menjadi berfungsi sebagai sumber kehidupan semua makhluk hidup penghuni alam ini. 
Karena itu Pura Gelap ini menjadi pusat meditasi umat manusia yang berkehendak membangkitkan sinar suci yang bersemayam dalam dirinya atau di Bhuwana Alit.
Kalau sinar Bhuwana Agung dapat terpadu dengan sinar di Bhuwana Alit atas usaha umat manusia maka keharmonisan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pun terjadi. 
Hal ini sebagai salah satu penyebab terwujudnya kehidupan yang bahagia atau hita karana. 
Pura Gelap tidak semata-mata sebagai tempat meditasinya para pandita, tetapi juga sebagai tempat meditasi semua umat terutama mereka yang ingin mengembangkan kepemimpinannya secara baik dan benar.

Areal Pura Gelap ini mula-mulanya tidak begitu besar. Setelah direhabilitasi pura ini diperluas bahkan sekarang menggunakan Kori Agung. 
Sebelumnya hanya menggunakan Candi Bentar sebagai pintu masuknya. Karena pura ini merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Penataran Agung. Sebelumnya hanya Pura Penataran Agung yang menggunakan Kori Agung atau juga disebut Candi Kurung.
Pelinggih utama di Pura Gelap Besakih ini adalah Meru Tumpang Tiga sebagai media untuk memuja Batara Iswara sebagai manifestasi Tuhan pelindung arah timur dari alam semesta ini. 

Batara Iswara juga sebagai Dewa kecemerlangan dan kecerahan dari Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. 
Atap Meru yang bertingkat-tingkat itu lambang pengelukunan Dasaksara dan lambang urip bhuwana.
Pengelukunan Dasaksara adalah Aksara ''Om'' yang bisa dikembangkan menjadi tiga aksara, lima, tujuh sampai sebelas aksara. Maknanya secara filosofis sama. Meru Tumpang Tiga makna filosofisnya sama dengan Meru Tumpang Lima sampai Sebelas.
Menurut Kekawin Dharma Sunia, Meru itu adalah lambang alam atau Bhuwana stana Tuhan yang sesungguhnya. Meru Tumpang Tiga di Pura Gelap lambang Tri Bhuwana atau Tri Loka yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka. 
Artinya Tuhan sebagai Batara Iswara menyinari kehidupan di Tri Bhuwana tersebut. Di dalam Meru Tumpang Tiga ini terdapat batu simbol Lingga stana Batara Siwa
Di samping itu, di Pura Gelap ada Pelinggih Sanggara Agung yang menyerupai Padmasana untuk menstanakan tirtha yang diambil dari Pura Tirtha saat ada upacara penting di Pura Penataran Agung Besakih.

Di Pura Gelap terdapat juga Pelinggih Dasar Sapta Patala
Pelinggih ini sebagai media memuja Tuhan sebagai jiwa alam bawah yang terdiri atas tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Unsur-unsur Sapta Patala ini setelah mendapatkan sinar alam semesta barulah akan berfungsi sebagaimana mestinya. 
Kerja sama alam inilah yang menghasilkan unsur-unsur alam yang menyebabkan berlangsungnya kehidupan di bumi ini.
Oleh karena itu, manusia hendaknya tidak merusak kerja sama unsur alam ini. Karena kerja sama unsur alam ini berlangsung berkat adanya Rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Merusak proses alam sesuai dengan Rta berarti dosa karena tergolong perilaku melawan takdir Tuhan.
***