Fungsi petulangan dalam upacara ngaben

Fungsi petulangan dalam upacara ngaben disebutkan sangat erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu.
Seperti kerbau yang terdapat diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak roh-roh jahat dan sebagai tunggangan roh / atman leluhur di akhirat (Van Der Hoop, 1949:136).
Di daerah Toraja, Sulawesi pada waktu peralatan penjenasahan banyak kerbau dipotong, satu di antara kerbau tersebut dianggap sebagai kendaraan orang yang meninggal ke akhirat. Hiasan rumah masyarakat Toraja dibuat dari kayu berbentuk kerbau.
Hal ini ada persamaan dengan petulangan berbentuk lembu pada upacara ngaben di Bali. Binatang kerbau mempunyai arti yang sangat penting dalam upacara penjenasahan (Van Der Hoop, 1949:138).
Kepercayaan terhadap binatang menjangan yang disucikan, digambarkan dalam bangunan bagian muka dari Menjangan Seluang Mospait, rumah suci untuk dewa Mojopahit dalam kuil di Pura Desa Singaraja Bali, suatu peringatan terhadap perpindahan orang Hindu Jawa ke Bali setelah jatuhnya Majapahit (Van Der Hoop, 1949:156). 

Wahana - Wahana para dewa Tri Murti dalam petulangan :
  • Di Bali kepercayaan terhadap binatang lembu sebagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa Siwa.  
  • Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa.
  • Sedangkan Dewa Wisnu berfungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut disucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifes-tasinya masing-masing. 
Menurut Drs. Ida Bagus Purwita dari Griya Yang Batu Denpasar, (sekarang sulinggih) meninjau dari segi filosofinya bahwa perwujudan petu-langan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal dunia.

Binatang nama lainnya sattwa terdiri dari kata sat dan twa.
  • Sat berarti inti (esensiil); 
  • Twa berarti sifat. 
Jadi sattwa berarti bersifat esensiil dalam agama ialah Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan menggunakan petulangan berbentuk binatang, mengandung maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau moksa.

Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudan petu-langan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari binatang tersebut. Penggunaan petulangan dengan bentuk binatang ditentukan oleh si-fat perwatakan serta kewajiban seseorang dalam masyarakat.

Menurut lontar awig-awig desa adat di Denpasar milik Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petulangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu sebagai berikut: 
  • Bagi wangsa sudra jadma memakai petulangan bentuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina
  • Sang Aria memakai petulanggan berbentuk menjangan. 
  • Sang Kesatria memakai petulangan bentuk singa. 
  • Brahmana Welaka memakai petulangan bentuk lembu hitam dan Pendeta memakai petulangan bentuk lembu putih. 
Dengan demikian fungsi petulangan adalah sebagai berikut :
  1. Dalam pengertian umum petulangan berfungsi sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, berfungsi sebagai pengantar roh ke alam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasil perbuatan di dunia.
  2. Menunjukkan jenis sekte seseorang yang dianut leluhurnya.
  3. Menunjukkan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
  4. Menunjukkan rasa bakti dan penghormatan terhadap para dewa, karena dengan meniru wahananya sebagai sarana upacara. Maka seolah-olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi.
  5. Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbulkan kepuasan batin bagi yang diupacarai, orang yang menyelenggarakan upacara, seniman (sangging) yang mengerjakannya, dan masyarakat luas yang menikmatinya.
Demikian disebutkan dalam sumber kutipan : Bentuk - bentuk petulangan dalam upacara ngaben ditinjau dari sudut kesenirupaan di Bali
***