Gatot Kaca

Gatot Kaca adalah ksatria yang gagah perkasa dan pemberani, anak dari Bimasena, salah satu dari Pandawa lima.
Ia dikenal sebagai ksatria yang ahli terbang dan bertanggungjawab pada pertahanan udara serta memberi perlindungan seperti yang terlihat pada patung satria Gatot Kaca yang terletak di antara Jalan Raya Tuban dan Jalan Raya Airport Ngurah Rai. Jarak tempuh dari kota Denpasar kira-kira 18 km dan lebih kurang 5 menit perjalanan dari Bandara Udara Ngurah Rai bila menggunakan kendaraan bermotor.
Sebagai putra dari Sang Bima dengan Hidimbî (Arimbi) ini sebagaimana disebutkan dalam Adi parwa juga adalah tokoh yang menjadi kisah inspirasi dari keinginan kama untuk dapat mencapai kemenangan dalam hidup ini.
Dengan keinginan dan keberanian yang dimilikinya untuk dapat meraih kemenangan dan kesuksesan dalam hidup ini, disebutkan dengan kesaktiannya, seperti diceriterakan dalam perang Bharathayudha, badan Gatotkaca dapat menjadi semakin bertambah besar setelah bertubi-tubi menerima pukulan musuh.
Gatotkaca yang sakti tersebut, dahulu disebutkan pernah diberitahu sejarah peristiwa kelahiran dirinya sebagai manusia yang dalam kisah spiritual tak lekang zaman, Gatotkaca Satria Nusantara diceritakan :
Dahulu seluruh keluarganya berada dalam kerepotan, tali pusar dirinya tidak dapat diputus dengan berbagai macam senjata keris dan panah. 
Alkisah Arjuna dan Karna sedang bertapa di tempat berbeda untuk mendapatkan senjata sakti.
Konon, Bathara Narada yang membawa karunia senjata panah Kuntawijayadanu sulit membedakan kedua satria putra Dewi Kunti tersebut. Bathara Surya sengaja memberi penerangan pada tempat Karna bertapa, sehingga lebih mudah dicapai dan Bathara Narada memberikan senjata tersebut kepada Karna. 
Akan tetapi karena tersirat semacam ketidak baikan dalam diri Karna, maka Narada hanya memberikan “panah”-nya, sedangkan “sarung”, wadah pusakanya diberikan kepada Arjuna yang bertapa di tempat lain.
Dengan berbekal sarung senjata Kuntawijayadanu tersebut, Arjuna dapat memotong tali pusar bayi Gatotkaca, dan sarung tersebut hilang masuk ke dalam dirinya, sehingga dirinya menjadi sakti.
Menjelang turun ke medan perang, Gatotkaca ingat bahwa dia pernah melakukan dosa/kekhilafan membunuh pamannya yang bernama Kalabendana.
Maksudnya hanya sekedar menempeleng akan tetapi karena kesaktiannya pamannya malah mati. 
Bagaimana pun Gatotkaca yakin bahwa apa pun yang terjadi adalah skenario alam bagi perjalanan spiritualnya menuju ke kesempurnaan.
Dalam upaya untuk dapat menebus dosa tersebut dalam menegakkan dharma, saat berhadapan dengan Adipati Karna sebenarnya Gatotkaca diceritakan sudah tahu datangnya kematian yang menjemputnya.
Di angkasa tubuh Gatotkaca telah dikunci. Senjata Kunta Wijayadanu itu mengejar Gatotkaca bak peluru kendali. 
Akhirnya senjata itu menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya kembali dan masuk ke dalam sarungnya yang menyatu di perut Gatotkaca. 
Gatotkaca di akhir hayatnya tetap berupaya memusnahkan musuhnya sebanyak mungkin. 
Dan ketika jatuh ke bumi pun, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh Adipati Karna, 
Akan tetapi senapati Korawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga kereta perangnya hancur berkeping-keping dan semua senjata yang berada di dalam keretanya meledak dan membunuh ratusan pasukan Korawa yang diceritakan selalu berbuat jahat itu.
Cerita ini memberi inspirasi bahwa makna hidup ini juga terletak pada :
    • seberapa kuat bertahan dari gempuran musuh dan 
    • seberapa banyak musuh yang dapat ditundukkan, bahkan 
    • seberapa banyak musuh yang dapat diciptakan. 
    • Dan Apabila setiap orang dibesarkan oleh musuhnya, maka 
      • setiap orang memerlukan strategi bertahan dari serangan musuh dan 
      • siasat menyerang untuk dapat menundukan musuh.
Untuk menundukan musuh asasi itulah disebutkan diperlukan strategi catur purusa artha, berupa kontrol kama, dharma, dukungan artha, dan kendali moksa. 
***