Sang Hyang Kama Jaya Semara Ratih adalah sepasang dewa dewi sebagai simbol cinta kasih yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan sebagaimana disebutkan pada kutipan artikel blog rare angon dalam mitologi bale gending dipergunakan dalam beberapa upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali.
Dalam kisahnya sebagaimana disebutkan dalam lontar cundamani II, dalam kutipan tersebut dikisahkan suaminya Sang Hyang Semara yang juga disebut dengan nama Dewa Kama inilah ditugasi untuk menggoda dan membangunkan Dewa Siwa dari yoga semadinya karena ada raksasa sakti yang bernama Nilarudraka sedang mengancam sorga yaitu alam swah loka.
Dengan panah asmara yang digunakan Dewa Kama untuk memanah Dewa Siwa, akhirnya beliau terbangun dan tak pelak marahlah beliau dan kemudian dengan sorotan mata yang penuh api akhirnya Dewa Siwa membakar dan membunuh Dewa Kama tersebut.
Wafatnya Dewa Kama maka sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Dewa Siwa agar dirinya dibakar juga karena ingin mengalami nasib yang sama dengan suaminya, lantas permohonan itu dikabulkan oleh Dewa Siwa sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih.
Selanjutnya dikisahkan bahwa Dewa Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma.
Pada saat Dewi Uma dan Dewa Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya kepada Dewa Siwa, menanyakan abu apa sebenarnya itu?.
Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Setelah mendengar cerita dari Dewa Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Dewa Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Dewa Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma.
Atas permohonan Dewi Uma maka Dewa Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga.
Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Dewa Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia mayapada, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai.
Demikianlah jiwa Dewi Ratih yang menginsani setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama yang menginsani lubuk hati setiap pria (jantan).
Karena itulah pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Sehingga dalam beberapa simbolisasi cinta kasih Sang Hyang Semara Ratih ini disebutkan sebagai berikut :
Sehingga dalam beberapa simbolisasi cinta kasih Sang Hyang Semara Ratih ini disebutkan sebagai berikut :
- Sanggah Surya pada saat mekala - kalaan (mabeakala) ring upacara pawiwahan merupakan niyasa (simbol) sebagai stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Ratih.
- Dalam urut – urutan upacara metatah yang awal pelaksanaanya dilaksanakan sembahyang kepada Bhatara Surya dan kepada Bhatara Sang Hyang Semara Ratih dan juga mohon tirtha kepada beliau berdua.
- Ngetok sunduk yang juga merupakan awal dari pelaksanaan upacara pemakuhan dalam pendirian rumah baru yang akan ditempati disebutkan mantra tersebut bertujuan untuk ngadegang Bhatara Semara Ratih metemuang ageni mastu astu Ang Ah.
- Mantra Penangkeb Hyang Ratih untuk kebaikan suami. Dengan harapan agar suami tidak lagi melakukan tindakan-tindakan asusila, berharaplah kehadapan Dewi Ratih agar suami senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Dharma.
***