Multikultural

Multikultural adalah keragaman budaya lokal yang ada di masyarakat;
"Untuk dapat dikenal lebih dekat agar hidup dengan suasana tetap damai penuh kebahagiaan dalam suatu keberagaman yang ada di dunia ini."
Pentingnya mengetahui budaya yang berlaku secara umum di masyarakat baik dari segi tingkah laku (kelakuan) maupun benda-benda (tanda budaya) lainnya disebutkan juga untuk memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga terjadi suatu perbedaaan. (T.O. Ihromi, 1996: xxiii) seperti dalam multikultural masyarakat Bali sebagaimana disebutkan :
Menghormati dan menghargai perbedaan yang ada dalam konsep desa,kala,patra dan kuna dresta, maupun desa/drsta mawa cara, adalah prinsip yang sampai saat ini masih berlaku bahkan oleh komunitas maupun lembaga-lembaga terkait cenderung untuk dipertahankan. 
Keragaman budaya yang ada / dimiliki oleh masing-masing komunitis desa adat / pekraman telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat Bali. 
Bentukan budaya “baru” dari keragaman komunitas terhadap penggunaan sarana keagamaan yang telah ada seperti; umbul-umbul, kober, bandrangan, tumbak, mamas, tedung (payung pagut, payung robrob), Penawesange, dan Dwaja tidak terlepas dari adanya interaksi dan internalisasi pendukungnya. 
Secara kultur keragaman budaya berada dalam ruang interaksi dan internalisasi nilai-nilai yang memiliki pandangan berbeda, bahwa kolektivitas atau komunitas menentukan anggotanya, pandangan lainnya adalah anggota menentukan kebersamaan. (Mudji Sutrisno, 2009:140). Sejalan dengan pendapatnya Mudji Sutrisno, tentang timbulnya budaya baru dalam kehidupan masyarakat khususnya tentang keseragaman dalam keragaman sarana upacara keagamaan tidak lepas dari keinginan dan rasa tanggung jawab untuk melestarikan tradisi yang sesuai dengan jiwa jamannya. 
Sudah tentu pula dalam upaya pelestarian nilai-nilai sakral religius magis tersebut dibarengi dengan kondisi perkembangan jaman yang ada.
Adanya kemajuan teknologi, dominasi budaya, serta dinamika terpadu telah membentuk komunitas yang terwujud bukan oleh lingkungan tempat lingkungan itu berada. (David Kaplan dan Albert A. Manners, 1999: 241-242)
Jadi budaya itu memang tidaklah statis, dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan jamannya. 
Bali yang sarat dengan prosesi ritual religius keagamaan sekaligus sebagai daerah tujuan wisata secara tidak langsung telah bersentuhan dengan budaya baru sesuai adat kebiasaan daerah/negaranya masing-masing. Atau atas kemauan masyarakat/komunitas pramuwisata yang dengan “sengaja” memanjakan para wisatawan dengan menyajikan seni budaya yang mengandung nilai sakral sebagai daya tariknya. 
Tidak jarang belakangan ini dijumpai sarana upacara keagamaan yang lengkap dengan atributnya berada di tempat-tempat umum.
Dalam transformasi kebudayaan Bali, I Wayan Geriya mengungkapkan, perubahan bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang sangat besar dan luas. 

Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara horizontal dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan yang berkelanjutan. 
Lebih lanjut dianalogikan seperti kupu-kupu dengan proses transformasi biologisnya, dari perubahan telur menjadi ulat, kepompong hingga menjadi kupu-kupu yang dapat terbang bebas karena ada perubahan bentuk dan fungsi, namun tetap dalam esensi spesiesnya, tidak berubah ke spesies burung maupun yang lainnya. (I Wayan Geriya, 2000 : 109). 
Apa yang diungkapkan dalam tronspormasi budaya memang sulit dihindari, namun dalam penelitian ini adanya simbol-simbol/atribut keagamaan yang digunakan di tempat ibadah dan disakralkan digunakan ditempat lainnya/diluar pura.

Kronologis kebudayaan Bali, kalau ditinjau dari persepektif historis, dapat dirunut menjadi tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, dan modern. 
  • Tradisi kecil yang dimaksud adalah kebudayaan yang berorientasikan Bali lokal dengan ciri-ciri tertatanya sistem pengairan oleh kelompok-kelompok organisasi nonformal yang disebut subak dan berternak dengan tujuan untuk keperluan upacara maupun memenuhi kebutuhan keluarga serta membuat barang-barang/peralatan rumah dan sarana keagamaan. 
  • Dalam tradisi besar telah terjadinya akulturasi antara kebudayaan Bali lokal dengan kebudayaan Hindu Jawa yang melahirkan kebudayaan Bali tradisi. Ciri-cirinya adalah 
    • Adanya kekuasaan terpusat lewat konsep Dewa Raja. 
    • Raja dianggap sebagai inkarnasi Dewa dengan segala kelebihannya dibandingkan rakyat kebanyakan. (I Wayan Geriya, 2000 : 2).
Terbentuknya Budaya Bali, Tradisi diikuti pula terjadinya sistem penanggalan (kalender Hindu-Jawa) arsitek dan kesenian yang bermotif Hindu dan Budha. 
Kebudayaan dan tradisi Bali ini sebuah refleksi dari budaya ekpresif, dominannya nilai religius, nilai estetis dan solidaritas, sebagai inti kebudayaan Bali. 
Perbedaan antara bagian inti suatu kebudayaan dengan bagian perwujudan lahirnya, dapat dilihat dari beberapa ciri seperti yang ada pada inti kebudayaan misalnya: 
  • Sistem nilai, 
  • Keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 
  • Adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat; 
    • Mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat;
    • Sedangkan bagian akhir dari suatu kebudayaan fisik, alat-alat, benda-benda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara dengan segala tekniknya, untuk memberi kenyamanan. (Koentjaraningrat, 1990: 97)
Bagian akhir dari terbentuknya kebudayaan yaitu kebudayaan fisik, oleh masyarakat Bali masih terpelihara dan dirawat dengan baik. Kiat-kiat perawatan dan pelestarian warisan tersebut dilakukan dalam bentuk upacara ritual yang disebut dengan otonan atau odalan yang datangnya enam bulan sekali / 210 hari sekali. 

Khusus bagi masyarakat Hindu di Bali, selain diwariskan kebudayaan berbentuk fisik, yang lebih berharga dan bermanfaat adalah adanya suatu tatanan dan tuntunan “wajib” cara-cara atau alokasi waktu perawatan/pemeliharaan secara berkelanjutan seperti misalnya :
  • Sistem kepercayaan.
  • Sistem kemasyarakatan.
  • Organisasi Sosial yang menyangkut :
    • Perkawinan.
    • Kekerabatan.
    • Bahasa.
    • Pengetahuan.
    • Teknologi.
    • Mata pencaharian.
    • Kesenian.
  • Tradisi kebudayaan.
    • Tradisi Ngaben.
    • Tradisi berdoa di pagi hari.
    • Tradisi Bali Kuno, seperti yang ada di Trunyan.
Dan sebagai tambahan, setiap budaya atau tradisi selalu tercipta sebagai suatu wadah bersama yang mengandung Tri Wisesa dalam unsur-unsur kebenaran :
  • (satyam) yang memudahkan hidup, 
  • kesucian (siwam) yang mengarahkaan hidup 
  • dan keindahan (sundaram) yang menghaluskan hidup. 
Selama ketiga unsur ini ada, maka suatu budaya akan tetap bertahan. Hindu bahkan menyuburkan budaya lokal dengan memberikan jiwa pada budaya yang telah berkembang di masyarakat. 
Jika kita perhatikan umat Hindu etnis Bali, Jawa, Dayak, Toraja, Batak, Irian, Maluku, Nusa Tenggara, dan seterusnya, mereka memiliki keragaman budaya yang berbeda namun didalamnya tersimpan ajaran Hindu yang adi luhung. 
***