Tipat Dampulan

Tipat dampulan adalah sejenis ketupat dengan bentuk kura-kura yang terbuat dari janur yang melambangkan jiwa seseorang yang digodok dengan berbagai pengalaman hidup.
Baik itu yang baik, suka maupun duka, manis maupun pahit, bahagia, bahkan sengsara. 
Sehingga jiwanya menjadi matang. Kematangan jiwa ini disimbolkan dengan sifat2 kedewasaan. 
Sifat2 kedewasaan seorang manusia disimbolkan dengan banten tipat dampulan yang menunjukkan bahwa seseorang sudah meningkat kedewasaan jiwanya. Dimana tetandingannya sebagaimana dijelaskan oleh wisdanarananda yang dihaturkan pada saat kajeng kliwon disebutkan : 
Alasnya memakai sebuah ceper atau tamas, di atasnya di letakkan sebuah ketupat dampulan, rarasmen, dilengkapi ulam telur mateng, raka-raka dan sebuah sampian plaus atau kepet-kepetan berisi plawa, porosan, uras sari, bunga, rampai dan boreh miyik. Setelah lengkap, barulah tipat dampulan tersebut diletakkan dan siap untuk dihaturkan.
Filosofi Tipat Dampulan :
Tipat dampulan dilambangkan dengan kura-kura atau penyu bertelur. Pada umumnya penyu bertelur didarat, setelah dia menggali lubang di pasir, ditetaskanlah telur-telurnya.
Selanjutnya pasir kembali ditimbun oleh sang kura-kura, kemudian ditinggalkannnya kembali ke laut. Setelah tiba waktunya, menetaslah telur penyu itu tanpa di tunggui atau dierami oleh induknya. Setelah menetas anak penyu tersebut lari kesana-kemari, mencari makan sendiri. Baik di darat maupun di laut, berjuang sendiri mengatasi segala rintangan hidupnya. Setelah dewasa dia kembali ke laut dan berusaha mencari induknya.
Fungsi dari menghaturkan tipat dampulan adalah mengingatkan kepada umat manusia bahwa jiwa seseorang yang digodok dengan berbagai pengalaman hidup, baik itu yang baik, suka maupun duka, manis maupun pahit, bahagia, bahkan sengsara akan mematangkan jiwanya. 
Kematangan jiwa ini disimbolkan dengan sifat-sifat kedewasaan.
Apa yang dialaminya selama ini diterimanya dengan lapang dada. Meskipun dia mengalami kesengsaraan di dunia fana ini namun kehidupan itu dilakoninya dengan sewajarnya. Dengan kata lain tidak ada penyesalan, sebab ia yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti ada penyebabnya, dan segala musibah pasti ada hikmahnya. 
  • Dia percaya akan adanya proses tumimbal lahir dan pahala baik dan buruk (subha dan ashuba karma). 
  • Dia mensyukuri kehadirannya di dunia meskipun hidup dalam kesengsaraan. 
  • Dia tidak menyalahkan nasib atau takdirnya, karena dia yakin bahwa itu adalah akibat dari perbuatannya di masa lalu. Justru pada masa kini dia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya menuju arah arah kehidupan yang lebih baik. 
Dia hidup sewajarnya (bekerja, mencari penghidupan yang layak berlandaskan ajaran dharma) sambil berusaha untuk menimba ilmu pengetahuan rohani, sehingga bisa bersatu kembali keasalnya (bertemu kembali dengan orang tuanya yang sejati/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
***