Kiwa Tengen

Kiwa-Tengen adalah konsep kiri-kanan, dimana konsep ini disebutkan mengambil anatomi tubuh manusia;
Karena manusia dianggap sebagai sentrum (sentral pemikiran) bagi alam ini.
Berkaitan dengan “Rwabhineda” di mana :
  • Kanan adalah dharma; dan 
  • Kiri adalah saktinya.
Filsafat ini juga masuk ke dalam “Praja” (keluarga) di mana :
  • Ibu-ibu rumah tangga disebut sebagai tengen karena melaksanakan Dharmaning Praja, yaitu tugas-tugas: mengatur rumah tangga, menyiapkan bebanten/ sajen, memelihara anak-anak, merawat mertua, dll.
  • Ayah sebagai kepala keluarga berkewajiban menghidupi keluarga atau dengan kata lain mencari nafkah. Untuk mencari nafkah ia harus bekerja dengan menggunakan kekuatan badan dan pikirannya atau dengan istilah filsafat Hindu, ia harus menggunakan kesaktiannya; itu berarti pihak ayah (laki-laki) disebut sebagai Kiwa.
Lebih jauh filsafat ini memasuki posisi Rong Tiga (Kemulan), di mana rong sebelah kanan adalah untuk Pradana (Wanita).
Rong kiri adalah untuk purusa (Laki-laki) dan rong tengah untuk Suniaatma.
Kiri-kanan dalam Rong Tiga adalah dari Linggih Kemulan, tegasnya bila Kemulan menghadap ke Barat, yang kiri adalah yang di Selatan, dan yang kanan adalah yang di Utara. Bila Kemulan menghadap ke Utara, yang kiri adalah yang di Barat, dan yang kanan adalah yang di Timur.
Menanam ari-ari, bila bayinya perempuan ditanam di kanan (sebelum) pemedal rumah, dan bila laki-laki ditanam di kiri (sebelum) pemedal rumah, kanan dan kiri dari pandangan rumah menuju jalan.

Meletakkan Tugu (Sedahan Karang) tidak memperhatikan kiri-kanan tetapi memperhatikan hulu-teben. Letakkanlah di bagian teben dari tanah pekarangan, karena yang di hulu adalah Kemulan Rong-3.
Cara berbusana bagi wanita, ujung wastra dan kampuh selalu menuju ke kanan (dari arah kiri) dan sebaliknya bagi laki-laki.
Sumber sastra: Lontar-lontar Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, dan Gong Besi yang sebagaimana dijelaskan stiti dharma online dalam konsep alam bertingkat sebagai salah satu filsafat yang berkaitan dengan pola hubungan antara manusia dengan alam.

Di dalam tempat suci di Bali juga tidak hanya ada arca atau pratima figur Hyang Acintya dan dewa-dewi, tapi juga banyak ada figur-figur menyeramkan.

Di Penataran Agung Pura Besakih,
  • palinggih kiwa (kegelapan, keburukan), 
  • dan tengen (kesucian, kebaikan) diletakkan sejajar dan kedudukannya sama.
Kita mebanten tidak hanya ke "alam-alam luhur, swah loka" tapi juga ke "alam bawah, bhur loka sehingga terjadi keseimbangan energi positif dan energi negatif di alam ini.
***