Sesuwuk

Sesuwuk asal katanya suwuk artinya somya...
Nyomia energi negatif watek kala kabeh berarti menetralisir kekuatan - kekuatan jahat agar menjadi suatu kekuatan yang baik.
Dibuat dari potongan daun pandan duri diolesi “apuh” (pamor base; kapur sirih) bentuk tapak dara yang bertujuan untuk dapat menghilangkan aura mistis seperti penggunaan pada upacara mapag kala yang disebabkan atas kehadiran Bhatara Kala.

Masang sesuwuk ini juga disebut “meselat” / “meselet”, karena daun pandan diselipkan di setiap bangunan rumah dan pelinggih
Demikian juga, pada setiap orang mengoleskan kapur sirih di hulu hati (dada) berbentuk tapak dara.
Filosofi Sesuwuk dalam Hindu Dharma sebagai penghilang aura mistis Tumpek Wayangoleh Ki Buyut Dalu dimana dalam wewaran diceritakan :

Pada hari redite wage wuku wayang (minggu sebelum tumpek wayang) adalah pertemuan antara Sang Sinta dan Sang Watugunung
Hari ini dikatakan “leteh” / kotor, tidak baik untuk penyucian. Sedangkan sehari sebelum Tumpek Wayang disebut “ala paksa” / “kala paksa” / “dina ala”. Karena pada hari ini Sanghyang Kala sedang berada di bumi. Itulah sebabnya Sang Gama Tirtha (umat sedarma) pada hari itu memasang “sesuwuk”.
Keesokan harinya, pada hari Tumpek Wayang, pagi - pagi sesuwuk dipunggut dikumpulkan dalam satu wadah berupa “sidi” (ayakan), diikat dengan benang tridatu.

Sesuwuk yang sudah diikat ditaruh di “lebuh” / depan rumah, disertai segehan, api takep, “tri ketuka” (mesui, kesuna, jangu), disertai “payas pebersihan”.
  • Mesui kesuna jangu kadangkala digantikan dengan “lulun pabuan” yakni perlengkapan menginang seperti sirih, mako, buah pinang, pamor, gambir.
  • Pandan duri adalah simbol permohonan kekuatan Sanghyang Wisesa. 
  • Pamor Base atau Kapur sirih adalah simbol permohonan kekuatan Sanghyang Darma
  • Bentuk “tapak dara” sebagai simbol permohonan kesucian. 
  • Benang tridatu sebagai simbol permohonan kekuatan bayu sabda idep serta mohon perlindungan kepada Sanghyang Tri Sakti.
  • Api takep simbol permohonan perlindungan Sanghyang Brahma
  • Sidi (ayakan) simbol permohonan “ke-sidi-an” / kekuatan Sanghyang Maha Wisesa. 
  • Segehan sebagai sarana “nyupat” / “nyomia” kekuatan kala menjadi dewa. 
  • “Tri ketuka” (mesui, kesuna dan jangu) simbol kekuatan untuk menolak bala.
Semua sarana itu merupakan wujud permohonan perlindungan kepada Sanghyang Maha Wisesa terhadap pengaruh negatif Kala. Juga sebagai sarana penyupatan kekuatan negatif di bhuana alit dan buana agung agar menjadi “somia” dan “nirmala”, bebas dari bahaya, bencana, penyakit, serta untuk mendapatkan “prayascita” / penyucian.
***