Nunas Puput

Nunas Puput adalah sebuah kebiasaan dengan jalan pintas untuk dapat mempersiapkan dan menyelenggarakan upakara banten (yadnya) secara cepat namun tidak berarti melupakan makna yang terkandung dalam upacara yadnya yang akan diselenggarakan tersebut.
Apalah artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi.
Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orang tua kita tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan pada orang tuamu? Jawabannya ya, nggak tau! Aneh bukan?

Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam makna banten bagi umat Hindu di Bali dan permasalahannya kini, untuk dapat menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya “nunas puput”. 

Generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali dalam bentuk ritual / upacara menjadi sangat sulit dan mahal.
  • “Model” umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah lumrah seperti: sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di Geria lengkap dengan Sulinggih yang muput. 
    • Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta gotong-royong hilang, dan segi sakral membuat banten pada Sang Yajamana hilang.
Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya, seorang tokoh pemimpin Agama yang juga telah mengajarkan membuat “reringgitan” .......
  • Agaknya hal yang paling patut dipikirkan yaitu segi sakralnya suatu banten.
  • Apalah artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang dipersembahkan ....
Fenomena seperti itu akan terus berkembang lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak.

Konsep-konsep Manawadharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara suami / istri banyak tidak berlaku lagi.
  • Suami mestinya menghidupi keluarga, 
  • dan Istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah Panca yadnya dan dengan sendirinya membuat banten.
Adakah jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan:
  • Dalam banyak kitab suci antara lain: Manawadharmasastra, Parasaradharmasastra, dll. disebutkan bahwa cara kita beragama di setiap zaman tidaklah sama. 
    • Di zaman Kali seperti sekarang ini, cara kita beragama mestinya lebih menekankan pada pencurahan kasih sayang kepada sesama manusia misalnya dalam bentuk dana punia.
  • Namun demikian tidak berarti bahwa kegiatan ritual keagaman dalam bentuk upacara-upacara yadnya diabaikan. 
    • Upacara itu tetap dilaksanakan namun para Sulinggih diharap dapat memberikan dharmawacana agar sang yajamana mengerti dengan makna upacara yadnya yang diselenggarakannya. 
  • Sesuai dengan konsep Desa-Kala-Patra maka umat Hindu di Bali diharapkan menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan waktu yang luang.
    • Oleh karena itu banten yang dikategorikan dalam kelompok: alit-madya-ageng hendaknya dijelaskan oleh para Sulinggih kepada umat secara luas, 
      • dengan menekankan bahwa banten yang alit tidak berarti nilainya lebih rendah dari banten yang madya-utama, demikian sebaliknya, 
      • karena hakekat banten sebagai curahan rasa bhakti dan kasih kepada Hyang Widhi.
***